Business Law Community FH UGM

Blockchain, Smart Contract, dan Reformasi Hukum Perdagangan Internasional

Penulis: Fandy Ahmad Salim

 

Blockchain telah menjadi perbincangan hangat di berbagai lini akhir-akhir ini. Di ranah perbankan, blockchain mengajukan sebuah sistem kepemilikan dan pemindahan harta yang tidak bergantung pada pihak otoritas ketiga seperti bank. Di ranah perdagangan, blockchain menawarkan mata uang kripto sebagai alat pembayaran dan aset kripto sebagai instrumen investasi. Bahkan baru-baru ini, kita mendengar konsep tentang Metaverse: sebuah dunia realitas virtual berbasis blockchain yang didaku akan menggeser kehidupan inderawi yang kita kenal sehari-hari.

 

Blockchain sendiri adalah teknologi pencatatan data transaksi dan peristiwa digital berbasis buku besar yang terdistribusi (distributed ledger) guna mencapai suatu konsensus dari tiap pihak yang berpartisipasi1. Sejarah blockchain dapat dirunut kembali ke tahun 2008 ketika seorang penulis anonim bernama Satoshi Nakamoto merilis sebuah tulisan berjudul “Bitcoin: A Peer-to-Peer Electronic Cash System.” Seiring berjalannya waktu, teknologi blockchain berevolusi dan menawarkan tidak hanya Bitcoin, tetapi juga Decentralized Finance (DeFi) yang merevolusi sistem perbankan, Non Fungible Token (NFT) yang menawarkan kepemilikan absolut atas aset digital, dan Smart Contract

 

Sebagai sebuah inovasi yang dibangun di atas jaringan blockchain yang disruptif, Smart Contract pun membawa dampak revolusioner terhadap hukum kontrak dan perdagangan. Smart Contract sendiri adalah sebuah perangkat lunak swadaya yang diatur oleh jaringan komputer peer-to-peer yang tak lain adalah blockchain. Smart Contract menyediakan framework untuk koordinasi dan penepatan prestasi-kontraprestasi antar pihak tanpa memerlukan kontrak legal secara tradisional2.

 

Salah satu contoh implementasi Smart Contract yang paling mudah dipahami adalah mesin jual otomatis (vending machine). Perangkat di dalam vending machine mengeksekusi perintah sederhana berumuskan “jika…, maka…” Jika uang telah masuk dan terbaca oleh mesin, maka mesin akan memproses pesanan pembeli. Jika pesanan pembeli telah selesai diproses, mesin akan langsung menyajikan produk kepada pembeli. Smart Contract berjalan dengan rumus yang sama. Pelaksanaan kontraprestasi hanya dapat berjalan ketika prestasi telah ditepati. Sebaliknya, jika prestasi belum terpenuhi, maka mustahil kontraprestasi akan terlaksana.

Smart Contract dan Perdagangan Internasional

Sebuah riset dari Standard Chartered mendaku Indonesia sebagai peringkat ketujuh dari 20 negara dengan potensi perdagangan terbesar di dunia. Indeks tersebut disusun berdasarkan berbagai faktor yang berperan sebagai pilar tumbuhnya perdagangan internasional, seperti dinamisme ekonomi, kesiapan perdagangan, dan diversitas ekspor3. Fakta tersebut membawa sebuah arti penting: perdagangan Indonesia masih mampu tumbuh lebih jauh dari hari ini. 

 

 

 

Smart Contract dapat menjadi katalis dalam mewujudkan pertumbuhan yang diharapkan tersebut. Manfaat-manfaat yang ditawarkan Smart Contract merupakan jawaban dari problema perdagangan yang kita hadapi hari ini.

 

Beberapa manfaat tersebut –baik di jagat perdagangan internasional maupun aktivitas perdagangan secara umum– adalah keamanan, transparansi, kepastian pemenuhan prestasi-kontraprestasi, dan ruang yang leluasa dalam berkontrak.

 

 

 

 

Smart Contract berjalan di atas jaringan blockchain yang bersifat immutable (kekal, tetap)4. Sifat immutable ini tidak lain dikarenakan blockchain itu sendiri yang berbentuk distributed ledger. Hal ini membuat pengubahan data dalam suatu blok data tanpa mengubah data di blok yang lain menjadi mustahil. Blok-blok data ini pun tidak tersimpan di suatu server sentral, namun juga tersebar di jutaan komputer yang ikut memverifikasi dan menghasilkan konsensus. Jika ada data yang tidak sesuai, pihak-pihak lainnya akan menganggap data tersebut sebagai tidak valid. Lewat sistem ini, blockchain membuktikan dirinya tahan terhadap manipulasi data dan peretasan.

Implementasi sistem tersebut ke dalam konteks transaksi perdagangan internasional akan menumbuhkan kepercayaan dan integritas bisnis antar stakeholders. Sebagai sebuah bisnis dengan risiko yang tak kecil, kepercayaan adalah kunci utama dalam perdagangan internasional. Baik eksportir, importir, dan penyedia jasa pengangkutan akan mampu memantau pergerakan barang dan uang di sepanjang rantai suplai. Hal ini mewujudkan suatu kondisi yang terdengar sulit diwujudkan: keamanan yang tinggi sekaligus transparansi. Keterbukaan yang menjadi nafas blockchain dan Smart Contract ini pun sejalan dengan  misi pemerintah untuk mewujudkan sistem informasi perdagangan yang terbuka5.

Selain dua hal esensial yang disebutkan sebelumnya, Smart Contract juga menawarkan manfaatnya yang lain: kepastian pemenuhan prestasi dan kontraprestasi. Hal ini tentu adalah tujuan utama dari terbentuknya setiap kontrak. Smart Contract menyediakan framework atau kerangka kerja yang dapat mewadahi eksekusi prestasi dan kontraprestasi pihak-pihak yang berkontrak secara cepat, otomatis, dan pasti. Dengan berjalan di atas rumus “jika…, maka…,” Smart Contract melindungi para pihak dari pelanggaran kontrak (breach of contract) dan wanprestasi. Smart Contract adalah manifestasi adagium pacta sunt servanda dalam bentuk yang paling absolut dan mutakhir.

 

 

 

 

 

Dalam konteks transaksi perdagangan internasional, misalnya, masih sering terjadi kesalahpahaman –terutama di kalangan eksportir pemula– terkait dokumen ekspor. Bill of Lading  yang merupakan dokumen utama dalam aktivitas ekspor-impor adalah “senjata pamungkas” eksportir supaya pembayaran dapat segera dituntaskan oleh importir begitu barang telah sampai di pelabuhan tujuan. Tidak jarang terjadi peristiwa di mana eksportir memberikan Bill of Lading kepada importir, meski pembayaran belum dituntaskan. Dengan Smart Contract, peristiwa-peristiwa human errors layaknya contoh di atas akan lebih kecil kemungkinan terjadinya –atau bahkan mustahil sama sekali– karena tidak sesuai dengan kerangka penepatan prestasi dan kontraprestasi yang telah ditentukan.

 

 

 

 

Akan tetapi, unsur kepastian yang menjadi ciri khas Smart Contract tersebut tidak lantas membatasi kebebasan berkontrak. Smart Contract tidak memberi batasan yang mengekang tentang bentuk dan isi kontrak. Para pihak yang berkontrak dibebaskan untuk merancang perjanjian: memberi ruang bagi implementasi asas kebebasan berkontrak. Smart Contract hanya akan menjadi kerangka kerja penepatan prestasi-kontraprestasi sesuai kontrak yang telah ditetapkan.

Disrupsi Smart Contract: Membendung Ombak atau Mengendarainya?

Pada abad pertengahan, para pedagang dari penjuru dunia berkelana melintasi Eropa untuk berdagang di pameran, pasar, dan pelabuhan. Para pedagang ini memerlukan kesepakatan tentang peraturan yang berlaku guna menciptakan kepercayaan dan mewujudkan perdagangan internasional yang sehat. Akan tetapi, perbedaan norma hukum di antara warga lokal, feodal, bangsawan, dan kaum gereja menimbulkan ketidakjelasan dan kesulitan bagi para pedagang. Kebiasaan perdagangan pun berevolusi menjadi hukum yang unik bernama “Lex Mercatoria.” Sebuah hukum yang independen dari peraturan setempat dan menjamin keadilan komersial bagi tiap pihak yang terlibat6. Hari ini Lex Mercatoria telah berkembang pesat –baik secara substantif maupun teritorial– dan menjadi fondasi bagi hukum perdagangan internasional.

Akan tetapi, diadopsinya Smart Contract ke dalam kegiatan perdagangan internasional mendisrupsi kemapanan ini. Smart Contract bersifat self-enforcing dan dapat berjalan secara maksimal tanpa memerlukan pihak ketiga (baik regulator, mediator, maupun supervisor). Hal ini seakan-akan meminggirkan peran hukum positif, peran lembaga penyelesaian sengketa hukum, sekaligus peran pemerintah sebagai penegak hukum. Satu-satunya unsur yang menjadi hukum adalah kode yang diprogram ke perangkat itu sendiri (Code is Law)7.

 

 

 

Smart Contract tidak membutuhkan sistem hukum untuk hidup, malah secara de facto merepresentasikan alternatif teknologis terhadap keseluruhan sistem hukum itu sendiri8. Ia adalah Lex Mercatoria bagi masyarakat era globalisasi yang semakin tak mengenal sekat antar negara layaknya hari ini. Reidenberg menyebutnya  sebagai Lex Informatica9. Kaburnya peran sistem hukum nasional dalam Lex Informatica adalah yang membuat harmonisasi hukum positif Smart Contract tidak semudah legislasi perundang-undangan pada umumnya.

Dilema ini membawa kita kepada dua alternatif: membendung ombak disrupsi Smart Contract atau mengendarainya bak peselancar. Pilihan pertama mengharuskan sistem hukum nasional dan internasional untuk membentuk lembaga dan perundangan yang membatasi sifat otonom dari Smart Contract. Pemerintah (baik direpresentasikan oleh lembaga nasional maupun internasional) dapat menjadi semacam “super user” di dalam jaringan blockchain Smart Contract yang dapat mengatur, merubah, dan mengawasi data kontrak perdagangan.

 

 

Akan tetapi, hal ini bisa dibilang menyalahi napas blockchain itu sendiri yang otonom dan immutable10. Selain itu, penerapan langkah ini pada hukum perdagangan internasional tidak mudah dikarenakan sifat jaringan blockchain yang mengaburkan batas yurisdiksi antara pemerintah nasional dan lembaga internasional.

Sementara itu, pilihan kedua (beradaptasi dengan disrupsi Smart Contract) juga tidak lebih mudah. Tidak menutup kemungkinan bahwa Smart Contract akan menghapus peran negara dalam perdagangan internasional. Menerima sepenuhnya disrupsi Smart Contract membawa kita kepada rentetan pertanyaan filosofis: apa sebenarnya peran pemerintah dalam perdagangan internasional? apa tugas pemerintah dan lembaga sengketa perdagangan internasional jika perdagangan dapat sepenuhnya berjalan tanpa cela? bagaimana kewenangan sistem hukum nasional di dunia yang semakin global?

 

 

 

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin masih akan menggema selama beberapa dekade mendatang. Satu hal yang pasti: kita melangkah menuju era baru perdagangan yang tidak seperti yang sudah kita kenal sebelumnya.

 

 

 

 

Sumber

Exit mobile version