Business Law Community FH UGM

Pemerintah & Bangkitnya Mafia ESDM

Oleh Theodore Daniel Wattimena dan Kanaya Seraf Sitepu (Divisi Energi dan Sumber Daya Mineral)

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, menghadapi tantangan unik dalam mengelola sumber daya alamnya, khususnya di sektor energi.[1] Sektor ini tidak hanya krusial untuk pembangunan ekonomi nasional, tetapi juga merupakan arena pertarungan kepentingan antara berbagai pemangku kepentingan.[2] Dalam konteks ini, konsolidasi sektor energi di Indonesia menimbulkan pertanyaan penting mengenai keseimbangan antara peran pemerintah, melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan pengaruh meningkatnya kekuatan oligopoli swasta.[3] Artikel ini bermaksud untuk menyediakan kerangka analisis mengenai bagaimana dan mengapa perubahan ini terjadi, serta dampaknya terhadap ekonomi dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.[4] Dengan fokus pada pergeseran kebijakan dan praktik dalam pengelolaan sumber daya energi, artikel ini mencoba menjawab pertanyaan kritis mengenai efektivitas dan implikasi dari hilirisasi industri energi dan pertambangan, serta peran yang dimainkan oleh berbagai entitas, baik pemerintah maupun swasta, dalam proses ini.[5] Dengan mempertimbangkan konteks historis dan ekonomi politik Indonesia, makalah ini bertujuan untuk memberikan wawasan yang lebih luas tentang bagaimana konsolidasi sektor energi dapat membentuk masa depan ekonomi Indonesia.[6] Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pembuat kebijakan, akademisi, dan praktisi industri, dalam memahami kompleksitas dan tantangan yang muncul dari dinamika sektor energi di Indonesia.[7]

Dalam beberapa tahun terakhir, telah ada dorongan oleh pemerintah Indonesia untuk lebih mandiri melalui pengembangan industri dalam negeri Indonesia. Ini dicapai melalui kebijakan publik “ hilirisasi ” konsep di mana produksi hilir & penyempurnaan bahan baku dilakukan di dalam negara alih-alih tambang Indonesia mengirim bahan baku ke pabrik peleburan & pengilangan asing, kata bahan-bahan itu akan dikirim ke pabrik peleburan dan pemurnian di Indonesia.[8] Kebijakan “ Hilirisasi ” Diratifikasi di Putusan Menteri Energi & Sumber Daya Mineral 301.K / MB.01 / MEM.B / 2022 ratifikasi Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambang Mineral dan Batubara, dalam keputusan menteri ini, menunjukkan peta jalan serta garis besar untuk “hilirisasi” dari sektor-sektor tersebut. karena ekspor bahan baku dilarang melalui undang-undang & peraturan pemerintah seperti Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019, di mana mineral seperti Nikel Babi Besi harus disempurnakan sebelum ekspor, ini menghasilkan Perusahaan membangun dan mengembangkan pusat penyempurnaan di dalam Bangsa.

Kebutuhan akan modal baru untuk mengembangkan industri dalam negeri mengakibatkan pemerintah melihat ke luar. melalui UU No. 25 tahun 2007 tentang Investasi, memungkinkan orang asing untuk memiliki investasi langsung di Indonesia. Melalui Doktrin Hukum Indonesia & kebijakan publik negara, perusahaan asing diberi insentif untuk bekerja dengan perusahaan Indonesia dalam pengembangan kilang dan pabrik peleburan; ini memiliki konsekuensi yang tidak disengaja membuat pasar domestik tidak kompetitif, karena perusahaan besar mencari pendanaan dan investasi dari pemain asing, perusahaan kecil tidak bisa mengimbangi pasar yang semakin jenuh & kompetitif. Yang mengakibatkan adalah beberapa perusahaan besar, beberapa milik negara, yang lain dimiliki secara pribadi oleh konglomerasi besar, kurangnya persaingan & konsolidasi sektor ini oleh beberapa pemain tetapi besar menghasilkan apa yang pada dasarnya adalah kartel dalam sektor Energi dan mineral ekonomi Indonesia. Kartel anti-persaingan ini menghasilkan beberapa perusahaan yang memiliki pengaruh besar dalam pasar swasta dan pemerintah Negara Bagian. 

Hukum di sektor energi Indonesia seharusnya berfungsi sebagai pengatur dan pengawas agar tidak terjadi praktik-praktik ilegal seperti mafia tambang atau kartel tambang. Namun, dalam praktiknya, terdapat potensi untuk penyalahgunaan dan celah-celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu. Salah satu faktor yang dapat memungkinkan munculnya mafia tambang atau kartel tambang adalah kurangnya transparansi dalam proses perizinan dan pengawasan. Jika proses ini tidak transparan, ada kemungkinan terjadi korupsi, suap, atau nepotisme yang memudahkan kelompok tertentu untuk menguasai sektor tambang. Pasal-pasal terkait di sektor energi, seperti Pasal 42 Undang-Undang Minerba, mengatur mengenai izin pertambangan dan alokasi wilayah pertambangan. Namun, implementasi dan penegakan hukum yang kurang ketat dapat memberikan celah bagi kelompok tertentu untuk memanipulasi sistem. Penegakan hukum yang tidak ketat berpotensi untuk memberikan keleluasaan terkait jangka waktu eksplorasi kegiatan pertambangan, sehingga perizinan tidak diperbaharui. Selain itu, hukum yang lemah atau tidak memadai juga dapat menjadi faktor pendorong. Jika sanksi terhadap pelanggaran hukum di sektor energi tidak cukup keras, atau jika peraturan yang mengatur persaingan di pasar tambang tidak memadai, hal ini dapat menciptakan ruang gerak bagi kelompok-kelompok yang ingin membentuk kartel atau praktik-praktik ilegal lainnya. Untuk mencegah munculnya mafia tambang atau kartel tambang, perlu ada upaya yang serius dalam memperkuat hukum dan regulasi di sektor energi. Transparansi, akuntabilitas, dan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran hukum dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih adil dan berkeadilan di sektor tersebut.

Pada saat ini, KPPU sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan penegakan hukum terhadap pihak yang melakukan pelanggaran usaha seperti mafia tambang, belum efektif dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Hal tersebut karena adanya ketidakjelasan dalam regulasi Undang-undang No.5 Tahun 1999 terkait Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Undang-undang tersebut tidak secara tegas menyatakan bahwa KPPU adalah lembaga negara, sehingga kedudukannya dalam penegakan hukum persaingan usaha menjadi dipertanyakan. Pembanding dibuat dengan Undang-undang lain, seperti Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dan Undang-undang No.37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia, yang secara jelas menyebutkan status lembaga tersebut sebagai lembaga negara. Hal ini menciptakan ketidakpastian terkait peran dan kewenangan KPPU dalam penegakan hukum persaingan usaha. Penegakan hukum persaingan telah menjadi bagian dari Agenda Pembangunan di pemerintahan yang baru, seperti yang tercantum dalam lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (2015-2019). Hal ini menunjukkan bahwa penegakan hukum persaingan usaha dianggap sebagai aspek penting dalam pembangunan negara. Penegakan hukum persaingan usaha yang sehat akan berkontribusi pada mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian, berlandaskan gotong royong. Maka dari itu, perlu adanya perubahan regulasi untuk memberikan kepastian hukum terkait kewenangan penegakan hukum KPPU..

Tetapi pemerintah Indonesia telah mengalami perubahan yang signifikan dalam menangani masalah “Mafia Tambang” dan korupsi dalam sektor energi. Meskipun respons awal terhadap permasalahan tersebut bisa dikatakan lambat dan birokratis, pemerintah telah mulai mengambil tindakan untuk membongkar kelompok-kelompok kartel yang ada sejak tahun 2008 dan mengawasi sektor Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) agar tetap kompetitif.[9] Salah satu langkah yang diambil adalah dengan menunjuk orang dari luar birokrasi, seperti Ignas Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral saat ini. Ignas Jonan telah terbukti sebagai seorang reformis yang kompeten melalui berhasilnya mereformasi Kereta Api Indonesia. Keberhasilannya dalam membenahi industri yang sebelumnya tidak efisien dan sarat dengan kegiatan ilegal dan korupsi menunjukkan komitmen pemerintah untuk melakukan perubahan positif.[10]

Pemerintah juga telah mengambil tindakan keras untuk memerangi korupsi dan penambangan ilegal. Salah satu contohnya adalah penindakan terhadap penjualan dan pengumpulan bahan baku ilegal. Selama penyelidikan, ditemukan tanda-tanda kelalaian administrasi dalam bentuk manipulasi kuota ekspor dan perizinan pabrik peleburan. OMBUDSMAN juga menemukan tanda-tanda patologi birokratis dalam penanganan masalah ini, yang mengakibatkan pelayanan dan perizinan yang lambat dan tidak efisien. Penting untuk dicatat bahwa penyelidikan ini menunjukkan adanya korupsi sistematis dalam sektor tambang[11], yang melibatkan berbagai pelanggaran seperti penambangan tanpa izin, manipulasi data dan laporan, serta manipulasi izin. Kasus-kasus serupa juga terjadi di berbagai provinsi di Indonesia. Namun, pemerintah terus memberikan respons dan tindakan keras untuk memerangi penambangan ilegal.[12] Misalnya, penutupan 48 penambang ilegal di Bangka Belitung menggunakan Pasal 158 Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 yang mengatur izin kegiatan penambangan. Tindakan ini menegaskan komitmen pemerintah dalam menegakkan hukum dan melawan korupsi.[13]

Pemerintah juga merespons laporan perilaku anti-persaingan oleh dua pabrik peleburan nikel, yang dilaporkan oleh Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI)[14]. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Komisi 4 telah meluncurkan penyelidikan terhadap tuduhan ini. Jika terbukti bersalah, pabrik peleburan tersebut dapat menghadapi denda yang berat dan bahkan kehilangan izin penambangan mereka. Secara keseluruhan, pemerintah Indonesia melakukan perubahan signifikan dalam menghadapi masalah “Mafia Tambang” dan korupsi dalam sektor energi. Respons dan tindakan keras diambil untuk membongkar kelompok-kelompok kartel, memperbaiki administrasi, menegakkan hukum, serta melindungi persaingan yang sehat dalam industri tambang.[15] Meski tantangan masih ada, pemerintah menunjukkan komitmen untuk terus melakukan perbaikan dan memberantas korupsi dalam sektor ini.

Terakhir, analisis ini telah menguraikan dengan rinci perubahan signifikan dalam sektor energi Indonesia, mengkaji transisi dari dominasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menuju pengaruh yang semakin besar dari oligopoli swasta. Analisis ini mengungkapkan bahwa Indonesia, saat ini, berada di sebuah titik kritis dalam upayanya mengelola sumber daya energi secara efektif dan adil. Transformasi ini bukan hanya mencerminkan respons Indonesia terhadap dinamika global, namun juga usaha negara dalam mencari keseimbangan yang harmonis antara pertumbuhan ekonomi dan kepentingan beragam pemangku kepentingan. Dari sini, terlihat jelas bahwa melalui kebijakan hilirisasi dan reformasi regulasi, pemerintah berusaha untuk menguatkan industri energi domestik. Namun, tantangan yang muncul dari konsolidasi sektor energi, yang mencakup kecenderungan oligopoli dan pengaruh asing yang semakin kuat, memerlukan penanganan strategis dan bijaksana. Terlebih lagi, dominasi oleh kelompok swasta besar dan entitas asing dapat berujung pada pengurangan persaingan yang sehat, serta potensi masalah dalam hal aksesibilitas dan keadilan harga bagi konsumen. Analisis ini menyimpulkan bahwa ada kebutuhan mendesak bagi pemerintah untuk memperkuat regulasi dan pengawasan sektor energi. Upaya ini melibatkan penguatan otoritas pengatur, seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan pengembangan kerja sama internasional untuk menerapkan standar dan praktik terbaik dalam pengelolaan sumber daya energi. Selain itu, penting juga untuk meningkatkan transparansi dalam proses pengambilan keputusan dan memperhatikan masukan dari berbagai kelompok masyarakat. Penting bagi pemerintah untuk memfasilitasi dialog antara berbagai pemangku kepentingan, termasuk industri, masyarakat sipil, dan sektor akademik, untuk memastikan bahwa kebijakan energi di Indonesia tidak hanya mendukung pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mempertimbangkan keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Dengan pendekatan holistik dan inklusif, Indonesia dapat mengoptimalkan potensi sektor energinya, menghindari perangkap oligopoli, dan secara efektif meningkatkan kesejahteraan rakyatnya dalam jangka panjang.


Sumber:

[1] The Connection between Manufacturing and Energy Sector and its Impact on Indonesia’s Economic Growth. (2022). Retrieved from https://doi.org/10.46254/in02.20220507

[2] Russia’s invasion of Ukraine: The reaction of Islamic stocks in the energy sector of Indonesia. (2023). Retrieved from https://doi.org/10.21511/imfi.20(1).2023.19

[3] Cooperation Of Indonesia – Iran In The Oil And Gas Energy Sector 2015-2017. (2020). Retrieved from https://doi.org/10.51413/jisea.vol1.iss2.2020.194-210

[4] Stakeholder engagement by power system experts of Indonesia electricity sector for sustainable energy transition. (2022). Retrieved from https://doi.org/10.1108/ijesm-05-2021-0021

[5] The Political Economy of Indonesia’s Renewable Energy Sector and Its Fiscal Policy Gap. (2019). Retrieved from https://doi.org/10.11648/J.IJEFM.20190702.12

[6] Determining Firm’s Performance: Moderating Role of CSR in Renewable Energy Sector of Indonesia. (2019). Retrieved from https://doi.org/10.17512/pjms.2019.19.2.37

[7] Practical Implementation Of Information Security Management In The Energy Sector Insights From An Oil And Gas Organization In Indonesia. (2018). Retrieved from https://dblp.org/rec/conf/iwbis/PrabowoSA18

[8] Humas, “Hilirisasi Bahan Tambang: Sebuah Upaya Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat,” Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, last modified March 13, 2023, https://setkab.go.id/hilirisasi-bahan-tambang-sebuah-upaya-peningkatan-kesejahteraan-masyarakat/.

[9] Dewan Perwakilan Rakyat Republic Indonesia, “Dugaan Jadi Beking Tambang Ilegal, Komisi VII: Polisi Harusnya Proses Hukum Pelanggaran,” KOMISI VII, last modified November 10, 2022, https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/41657/t/javascript;.

[10] Dewi, “Menteri ESDM Baru Bukan Bagian Mafia & Berani Melawan Kartel-Oligarki -,” Home -, last modified October 19, 2019, https://channel9.id/menteri-esdm-baru-bukan-bagian-mafia-berani-melawan-kartel-oligarki/.

[11] “Sengkarut Larangan Ekspor Nikel, Ombudsman Tegur BKPM,” OMBUDSMANRI, last modified November 15, 2019, https://ombudsman.go.id/news/r/sengkarut-larangan-ekspor-nikel-ombudsman-tegur-bkpm.

[12] “Menko Polhukam Terus Berkomitmen Berantas Mafia Tambang,” Kemenko Polhukam R.I, last modified May 24, 2023, https://polkam.go.id/menko-polhukam-terus-berkomitmen-berantas-mafia-tambang/.

[13] KOMISI VII DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA 2018, LAPORAN KEGIATAN KUNJUNGAN KERJA KOMISI VII DPR RI MASA RESES PERSIDANGAN IV TAHUN SIDANG 2017 – 2018 KE PROVINSI BANGKA BELITUNG, (DKI Jakarta: KOMISI VII DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA, 2018), https://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/K7-12-bb7dfa274c0dac1253408551a1ff149c.pdf.

[14] Anisatul Umah, “Penambang Laporkan Dugaan Kartel Nikel Oleh 2 Smelter Raksasa,” CNBC Indonesia, last modified November 13, 2019, https://www.cnbcindonesia.com/news/20191113200938-4-115104/penambang-laporkan-dugaan-kartel-nikel-oleh-2-smelter-raksasa.

[15] Ibid

Exit mobile version