Pembatasan Perdagangan Nikel di Indonesia: Dampak dan Implikasinya

Oleh Andito Motoki, Kenneth Achilles Herputra, dan Raden Roro Nashwa Nadra Nabila (Divisi Perdagangan Internasional)

Nikel merupakan salah satu hasil pertambangan yang menjadi produk ekspor Indonesia. Output nikel dari tambang Indonesia pada tahun 2018 sekitar 560 ton, terkonsentrasi di Pulau Sulawesi. Jumlah ini meningkat sebesar 62,32% dibandingkan produksi tahun 2017. Sebagai komoditas ekspor, nikel biasanya diekspor dalam bentuk bijih  atau bijih yang belum diolah. Nikel  digunakan sebagai bahan baku baterai, industri otomotif, dan bahkan produksi baja tahan karat[1]. Apalagi, di saat ini perusahaan-perusahaan mulai mengembangkan kendaraan listrik, hal ini mengakibatkan pasar nikel semakin luas karena nikel memiliki kapasitas energi yang tinggi dan dapat menyimpan serta menghasilkan energi yang besar sehingga nikel menjadi sumber daya alam yang berpotensi dan dibutuhkan di masa depan. Nikel juga merupakan sumber energi alam yang harganya terjangkau dibandingkan dengan emas atau berlian, hal ini menjadikan nikel sumber daya alam yang ekonomis dan berdaya saing tinggi[2]

Presiden Joko Widodo mengambil kebijakan untuk menghentikan ekspor bijih nikel ke Uni Eropa sejak tahun 2020 hingga saat ini. Hal tersebut sesuai dengan pasal 62A Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya  Mineral Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2019  tentang  Perubahan  Kedua  Atas  Peraturan  Menteri  Energi  dan  Mineral  Nomor  25 Tahun  2018  tentang  Pengusahaan  Pertambangan  Mineral  dan  Batubara. Kebijakan tersebut diambil dengan mempertimbangkan bahwa nilai ekspor akan lebih menguntungkan apabila bijih nikel diubah menjadi komoditas yang lebih bernilai. Jokowi meyakini bahwa keputusan itu membawa dampak yang begitu besar. Saat pemerintah memberhentikan ekspor nikel contohnya, nilai ekspor Indonesia naik menjadi Rp 450 triliun dari sekitar Rp 17 triliun[3]. Namun, kebijakan ini ditentang oleh Uni Eropa yang menggugat Indonesia melalui World Trade Organization (WTO) pada awal tahun 2021. Walaupun ditentang, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa Indonesia tidak akan mundur dan tetap mempertahankan kebijakan untuk menghentikan ekspor bijih nikel.

Indonesia yang merupakan salah satu produsen nikel terbesar di dunia, mendapat sorotan ketika Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2020. Hal ini disebabkan oleh isi keputusan yang melarang ekspor nikel mentah sehingga mengundang respons negatif dari berbagai pihak, termasuk Uni Eropa (UE). Uni Eropa merasa dirugikan oleh kebijakan Indonesia yang membatasi ekspor barang mentah yang diperlukan dalam produksi stainless steel, terutama nikel dan bijih besi. Dampaknya terasa pada produktivitas stainless steel di UE dan memiliki konsekuensi buruk terhadap 30.000 pekerja langsung dan 200.000 pekerja tidak langsung dalam industri stainless steel di Eropa.

Uni Eropa percaya bahwa berbagai tindakan Indonesia terkait kebijakan pembatasan ekspor bijih nikel tidak sesuai dengan kewajiban Indonesia berdasarkan perjanjian yang tercakup, khususnya pada Pasal XI:1 GATT 1994 menyatakan bahwa setiap negara anggota WTO dilarang untuk melakukan pembatasan selain tarif, pajak, dan bea lain, dan bukan pembatasan lain termasuk kuota dan perizinan impor atau penjualan dalam rangka ekspor[4]. Tindakan Indonesia tidak dapat dibenarkan atas dasar pasal-pasal berikut :  

Pasal XI.2 (a) GATT 1994: Larangan atau pembatasan ekspor yang diterapkan untuk sementara waktu untuk mencegah atau mengatasi kekurangan bahan pangan atau produk lain yang penting bagi pihak pengekspor

Pasal XX (d) GATT 1994: keperluan untuk menjamin kepatuhan terhadap undang-undang atau peraturan yang tidak bertentangan dengan ketentuan Perjanjian ini, termasuk yang berkaitan dengan penegakan bea cukai, penegakan monopoli dioperasikan berdasarkan ayat 4 Pasal II dan Pasal XVII, perlindungan paten, merek dagang dan hak cipta, dan pencegahan praktik penipuan; Paragraf 4 Artikel II, Jika salah satu pihak dalam kontrak menetapkan, memelihara atau memberi wewenang, secara formal atau berlaku, suatu monopoli impor produk apapun yang dijelaskan dalam Jadwal terlampir dalam Perjanjian ini, monopoli tersebut tidak boleh dilakukan, kecuali sebagaimana ditentukan dalam Jadwal itu atau sebagaimana jika tidak disepakati antara pihak-pihak yang awalnya menegosiasikan konsesi, berlaku demikian untuk memberikan perlindungan rata-rata melebihi jumlah perlindungan yang disediakan dalam Jadwal itu. Ketentuan-ketentuan ayat ini tidak membatasi penggunaan berdasarkan kontrak pihak-pihak dalam bentuk bantuan apapun kepada produsen dalam negeri yang diperbolehkan oleh ketentuan lain persetujuan ini.

Mengapa tindakan Indonesia tidak dapat dijustifikasi dengan pasal-pasal tersebut? Karena pada Pasal XI.2 (a) penetapan pembatasan ekspor hanya bersifat sementara apabila negara tersebut mengalami kondisi kritis yang mendesak (diterapkan untuk kebutuhan yang terbatas waktunya), sehingga Indonesia harus membuktikan bahwa kondisinya kritis dan mendesak[5]. Padahal, Indonesia memiliki cadangan nikel sebanyak lebih dari 50% dari total pasokan dunia, dari sini sudah jelas bahwa Indonesia bukan dalam keadaan kritis yang mendesak untuk melakukan pembatasan ekspor nikel[6]. Walaupun Indonesia memiliki cadangan nikel yang berlebih, cadangan nikel di Indonesia hanya dapat menjamin suplai fasilitas pemurnian yang dibutuhkan dalam kurun waktu sekitar tujuh tahun apabila tidak ditemukan cadangan baru lagi.

Meskipun demikian, Indonesia mencoba mengacu pada pasal-pasal yang sekiranya dapat membenarkan kebijakan Indonesia mengenai pembatasan ekspor bijih nikel sebagai tindakan yang dikecualikan dalam kerangka GATT, seperti untuk melindungi lingkungan. Hal tersebut dapat dikaitkan dengan pasal XX GATT 1994 (b), yaitu diperlukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, hewan, atau tumbuhan. Kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel diyakini oleh Indonesia sebagai tujuan yang paling transformatif, berkaitan dengan nilai tambah dan konservasi sumber daya, yang mendukung pada visi jangka panjang pembangunan Indonesia berkelanjutan[7]

 National Treatment dan Most Favored Nation (MFN) memiliki peran yang penting dalam konteks ekspor nikel Indonesia dan prinsip GATT. MFN berprinsip untuk menuntut bahwa perlakuan perdagangan yang diberikan kepada satu negara harus diberikan secara adil dan sama kepada semua anggota GATT. Dengan begitu, apabila Eropa memberikan suatu pemberian hak atau keuntungan perdagangan kepada satu negara, sudah seharusnya Indonesia juga berhak mendapatkan perlakuan yang sama. Sementara itu, dalam prinsip National Treatment mengharuskan negara tuan rumah (dalam hal ini, Indonesia) memberikan perlakuan yang setara antara produk-produk domestik dan impor. Sehingga, apabila nikel produksi dalam negeri diberikan perlakuan tertentu, impor nikel dari Eropa seharusnya mendapatkan perlakuan yang serupa pula. Argumen hukum Indonesia dapat diperkuat dengan menerapkan prinsip MFN dan National Treatment, dalam kasus gugatan Eropa terkait ekspor nikel.

Menurut Jerry Sambuaga, selaku Wakil Menteri Perdagangan mengatakan bahwa Indonesia dapat berargumen dalam pembelaannya agar menang banding melawan Uni Eropa di World Trade Organization (WTO) dengan argumen bahwa Indonesia sebagai negara pengekspor memiliki hak untuk menerapkan barang apa yang akan diekspor, menurutnya itu adalah hak bagi Indonesia untuk menentukan barang mentah atau barang jadi yang akan diekspor oleh Indonesia. Dalam hal ini, Indonesia menentukan bahwa nikel yang akan diekspor bukan lagi nikel mentah, namun tentunya untuk mempertahankan argumen ini dibutuhkan strategi, yaitu yang pertama Indonesia (melalui kuasa hukum) dapat melakukan pembelaan dengan menguji keputusan panel yang dianggap keliru dalam penginterpretasiannya, karena kebijakan yang diambil Indonesia tidak melanggar komitmen Indonesia dan tetap konsisten dengan ketentuan yang telah diatur oleh World Trade Organization (WTO). Yang kedua, kuasa hukum yang digunakan oleh Indonesia haruslah kuasa hukum yang berkompeten dan berpengalaman agar dapat memenangkan Indonesia dalam gugatan ini, dan yang ketiga,  pemerintah akan terus melaksanakan kebijakan hilirisasi industri sektor pertambangan sebagai dasar untuk pembelaan agar dapat memberi bukti bahwa dengan kebijakan yang diambil tersebut, membawa dampak baik bagi Indonesia berupa pertambahan devisa dan peningkatan pendapatan negara untuk masyarakat Indonesia[8]

Pembatasan ekspor nikel memiliki dampak baik dan buruk, dampak baiknya adalah Indonesia dapat menambah nilai jual nikel karena tidak dijual secara mentah pada negara lain melainkan dijual dalam kondisi bahan jadi atau bahan hasil pengolahan yang nilainya jauh lebih tinggi, namun disisi lain terdapat implikasi dari kebijakan ini, yaitu terdapat banyak bahan mentah yang tidak dapat dijual akibat minimnya smelter. Terdapat kendala pada rencana dari meningkatkan nilai jual pada bahan mentah yaitu pada fasilitas untuk memproses bahan mentah menjadi bahan jadi akibat smelter (tempat untuk memproses bahan tambang dengan cara meleburkannya guna menambah nilai kandungan, memurnikan, dan membersihkan bahan tambang) yang masih terbatas jumlahnya di Indonesia sehingga menimbulkan dampak buruk, yaitu pelaku tambang mengurangi kapasitas produksi atau bahkan menutup usahanya karena jumlah smelter yang ada tidak cukup untuk mendukung proses produksi dalam negeri. Hal ini menimbulkan tiga dampak baru lagi, yaitu pertama, berkurangnya penerimaan negara, pengurangan tenaga kerja di sektor tambang, dan semakin tergerusnya neraca perdagangan[9].

Hal buruk tersebut tidak begitu buruk bila dibandingkan dengan keuntungan yang diterima dari pembatasan ekspor nikel ini, karena pembatasan tersebut mendorong hilirisasi terjadi semakin cepat di Indonesia yang tidak hanya menaikkan nilai jual, tetapi juga membuka lapangan pekerjaan baru yang dapat mengurangi jumlah pengangguran, hal tersebut karena dengan hilirisasi industri semua produk turunan nikel dapat diproduksi dalam negeri. Kenaikkan nilai jual tidaklah main-main. Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa tahun ini diperkirakan ekspor stainless Indonesia akan meningkat menjadi kurang lebih USD 20,8 miliar. Presiden memandang, angka tersebut merupakan lompatan yang sangat besar jika dibandingkan dengan apabila hanya diekspor dalam bentuk bahan mentah. “Biasanya kalau kita ekspor bahan mentah hanya satu atau dua miliar (USD). Ini sebuah lompatan yang sangat besar sekali,” imbuhnya.


SUMBER:

[1] Hanina Husin Hadad dkk,”LARANGAN EKSPOR BIJIH NIKEL INDONESIA DIANTARA STABILITAS PERDAGANGAN INTERNASIONAL”.Vol 34 No.2, 2022

[2] Hardiawan, R. ., & Sutrisno, A. . (2023). KAJIAN YURIDIS KEKALAHAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA ATAS GUGATAN UNI EROPA TERHADAP PENGHENTIAN EKSPOR BIJIH NIKEL PADA SIDANG WTO. Journal Evidence Of Law, 2(2), 153–165. https://doi.org/10.59066/jel.v2i2.379

[3] Fika Nurul Ulya dkk, “RI Kalah Gugatan Nikel di WTO, Jokowi: Jangan Mundur! Kalau Ragu, Negara Ini Tak akan Maju”   https://nasional.kompas.com/read/2023/02/26/13523361/ri-kalah-gugatan-nikel-di-wto-jokowi-jangan-mundur-kalau-ragu-negara-ini-tak

[4] Firdaus, Sabilla Ramadhiani.”Pembatasan Ekspor Nikel: Kebijakan Nasional Vs Unfairness Treatment Hukum Investasi Internasional”.lan.go.id. Juli 26, 2022, https://lan.go.id/?p=10221.

[5] Hanina Husin Hadad dkk,”LARANGAN EKSPOR BIJIH NIKEL INDONESIA DIANTARA STABILITAS PERDAGANGAN INTERNASIONAL”.Vol 34 No.2, 2022

[6] Muharam, Muhammad Ali.”STATUS QUO PEMURNIAN LOGAM NIKEL DI INDONESIA: LANGKAH CEPAT INVESTASI INDONESIA”. lk2fhui.law.ui.ac.id. Juli 7,2023,https://lk2fhui.law.ui.ac.id/portfolio/status-quo-pemurnian-logam-nikel-di-indonesia-langkah-cepat-investasi-indonesia/.

[7] Firdaus, Sabilla Ramadhiani.”Pembatasan Ekspor Nikel: Kebijakan Nasional Vs Unfairness Treatment Hukum Investasi Internasional”.lan.go.id. Juli 26,2022, https://lan.go.id/?p=10221.

[8] Hardiawan, R. ., & Sutrisno, A. . (2023). KAJIAN YURIDIS KEKALAHAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA ATAS GUGATAN UNI EROPA TERHADAP PENGHENTIAN EKSPOR BIJIH NIKEL PADA SIDANG WTO. Journal Evidence Of Law, 2(2), 153–165. https://doi.org/10.59066/jel.v2i2.379

[9] Febrianto, Surizki,”SEGI POSITIF DAN NEGATIF DAMPAK KEBIJAKAN PELARANGAN EKSPOR BAHAN BAKU TAMBANG DAN MINERAL DIKAJI DARI ASPEK HUKUM INDONESIA”. https://repository.uir.ac.id/2045/

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *