Business Law Community FH UGM

Menyoal Masalah Lingkungan Terhadap Kemudahan Perizinan Perusahaan Tambang Nikel Pasca Undang-Undang Cipta Kerja

Oleh Mutiara Salsabila Fitriana dan Muhammad Ilham Wicaksono (Divisi Energi dan Sumber Daya Mineral)

Indonesia  merupakan salah satu dari negara-negara di dunia yang memiliki kekayaan sumber daya mineral dan batu bara yang melimpah. Pemerintah Indonesia menyadari akan adanya potensi alam ini untuk dikelola dan dapat dimanfaatkan demi kepentingan bersama. Di dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, Pemerintah Indonesia mengatur mengenai pemanfaatan sumber daya alam mineral dan batu bara, yang kemudian menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. 

Adanya peluang dalam melakukan pemanfaatan sumber daya alam mineral dan batu bara ini, kemudian menjadi ajang komersial bagi berbagai bisnis pertambangan dan mineral. Apalagi, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan cadangan nikel terbesar di  dunia. Pernyataan tersebut didukung oleh Survey United  States Geological pada 2022 yang menyebut cadangan nikel Indonesia mencapai 21 juta ton atau setara dengan 22 persen dari cadangan nikel global.[1]

Pemerintah lalu memandang industri nikel sebagai “Window of Opportunity” untuk menciptakan industrialisasi berbasis hilirisasi sumber daya alam mineral. Untuk mencapai usaha ini, diperlukannya peningkatan nilai tambah nikel dengan diolah menjadi bahan baku baterai. Secara bertahap, pemerintah telah mengambil langkah penting dengan menghentikan ekspor nikel mentah. Hal ini merupakan bagian dari upaya untuk mengubah nikel yang sebelumnya diekspor dalam bentuk mentah, menjadi bahan baku baterai yang memiliki nilai tambah yang jauh lebih tinggi. 

Peningkatan nilai tambah ini sangat tidak diragukan bagi pertumbuhan ekonomi. Dalam prosesnya, Nickel Ore (limonit) yang awalnya diekspor dalam bentuk mentah telah mengalami transformasi yang signifikan. Ketika nikel ore diolah menjadi Nickel Sulfate, hasilnya adalah keuntungan sebesar 11.4 kali lipat dari nilai awal.[2] Lebih lanjut, jika nikel diproses menjadi Prekursor, angka keuntungan melonjak hingga 19.4 kali lipat, dan bila diubah menjadi Katoda, kenaikan keuntungan mencapai 37.5 kali lipat. Bahkan, dalam tahap selanjutnya, saat nikel diolah menjadi komponen sel baterai, keuntungan melonjak luar biasa hingga mencapai 67.7 kali lipat. 

Adanya hilirisasi nikel yang selain berpeluang dalam meningkatkan nilai tambah komoditas dan memperkuat struktur industri, ternyata juga memberikan sumbangan signifikan dalam penerimaan devisa negara. Untuk merealisasikan hilirisasi nikel ini kemudian dibangunnya smelter, sebuah fasilitas pengolahan dan pemurnian nikel yang tahapannya tersebar di beberapa daerah di Indonesia, terutama pada daerah yang mempunyai potensi nikel terbesar. Oleh karena itu, pemerintah memberikan perhatian serius terhadap sektor nikel, yang  terlihat dari banyaknya perizinan yang diberikan untuk kuasa industri nikel di berbagai wilayah di Indonesia. 

Dalam praktiknya, pemerintah kemudian mengeluarkan izin kepada pihak ketiga untuk melakukan kegiatan industri nikel secara mandiri. Kemudian, di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara menjelaskan bahwa diatur  bahwa  dalam kegiatan  pengolahan sumber  daya  alam milik negara  Indonesia  dapat  dilakukan  oleh  perorangan  atau  organisasi  komersial. Pemerintah kemudian memberikan izin kepada perusahaan, koperasi, perorangan, dan kelompok lokal untuk melakukan operasi ekstraksi mineral dan batu bara.

Namun, demi mewujudkan tata kelola perizinan operasi dan birokrasi sektor pertambangan nikel agar  tidak rumit dan tumpang tindih, serta agar lebih menarik minat investor untuk berinvestasi, maka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.[3] 

Perizinan untuk kegiatan pertambangan nikel dimaksudkan untuk mendapatkan suatu keputusan yang mencakup kejadian  konkret yang  terjadi  pada  waktu,  individu,  lokasi,  dan  fakta  hukum  tertentu. Izin yang  harus  didapatkan oleh perusahaan pertambangan nikel berupa, izin usaha pertambangan mencakup tahap eksplorasi dan tahap operasi produksi, izin usaha pertambangan khusus,  IUPK untuk  kelanjutan  operasi  kontrak atau perjanjian,  izin  pertambangan  rakyat,  surat  izin  penambangan batuan,  izin  penugasan,  izin  pengangkutan  dan  penjualan,  izin  usaha  jasa  pertambangan,  serta IUP untuk penjualan.[4]  

Adanya Pengesahan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 mengenai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menghadapi sejumlah tantangan. Salah satu tantangan utamanya adalah kurangnya pengawasan karena dikendalikan oleh Pusat, serta kemudahan dalam pemberian izin investasi yang sering kali menimbulkan penolakan dari masyarakat yang merasa dirugikan dan berkeinginan melindungi lingkungan mereka. Banyak dari mereka mengalami penganiayaan hukum sebagai dampak dari tindakan tersebut. Meskipun terdapat regulasi hukum yang dapat mengatasi masalah tumpang tindih tata ruang, prakteknya seringkali izin yang diberikan tidak diikuti dengan pengawasan yang ketat, sehingga pelanggaran masih sering terjadi, terutama di daerah yang tidak termasuk dalam izin tersebut.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mengadopsi paradigma desentralisasi dengan peran besar Pemerintah Daerah dalam sektor pertambangan nikel. Namun, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 mengubah paradigma tersebut menjadi sentralisasi, dengan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan nikel dikelola oleh pihak pusat.[5] Pemberian izin pertambangan berada di bawah lingkup hukum administrasi negara, menyatakan bahwa operasi pertambangan perlu diatur dan dikelola melalui izin karena dapat membahayakan lingkungan. Namun, perubahan paradigma ini membuat prosedur perizinan lebih mudah, menimbulkan kontroversi di masyarakat dan kalangan pekerja industri pertambangan dan batu bara, serta merusak lingkungan.

Amandemen undang-undang ini memberikan keuntungan bagi pemerintah dan perusahaan pertambangan nikel untuk memperpanjang kontrak dan membagi yurisdiksi antara pemerintah pusat dan daerah. Namun, keputusan tersebut dianggap tidak adil karena merugikan masyarakat setempat yang mendapatkan perlakuan yang tidak etis dari pihak perusahaan pertambangan nikel. Contoh konkret dari ketidakpuasan ini terlihat dalam aksi protes yang diorganisir oleh sejumlah aktivis lingkungan, termasuk anggota Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Selatan. Mereka menyuarakan keberatan mereka melalui tindakan demonstratif, memajang spanduk bertuliskan “Save South Sulawesi Rainforest” dan “Stop Tambang Nikel di Sulawesi Selatan”.[6] Aksi protes ini dipicu oleh nyata adanya pengrusakan di kawasan hutan Sulawesi yang kini berdampak serius pada tingginya tingkat deforestasi.

Deforestasi terbesar terjadi pada tahun 2015 hingga 2016, mencapai angka alarman sebesar 30.144,92 hektar yang tersebar di Kabupaten Luwu Timur dan Luwu Utara.[7] Total luas ekosistem hutan yang telah dibebani izin usaha pertambangan di Luwu Raya pun mencapai angka mencemaskan, mencapai 97.960 hektar.[8] Dengan adanya aktivitas pertambangan nikel yang menggerus kawasan hutan di Luwu Utara, pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan tampaknya menjadi semakin dipertanyakan dalam konteks perlindungan lingkungan dan keberlanjutan ekosistem hutan.

Dalam menghadapi tantangan di sektor pertambangan nikel ini, resolusi yang perlu diambil mencakup beberapa aspek kunci dari segi hukum.[9] Pertama-tama, Peraturan Pemerintah No 5/2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dapat dijadikan pedoman. Dengan mengklasifikasikan pertambangan nikel sebagai memiliki risiko tinggi, penerapan prinsip-prinsip terkait tanggung jawab perusahaan menjadi suatu keharusan. Prinsip pencemar membayar (polluter pays principle) perlu ditegakkan dengan tegas.[10] Perusahaan pertambangan nikel harus diwajibkan membayar biaya eksternalitas yang ditimbulkan dari operasional tambang dan smelter, khususnya terkait kerusakan lingkungan.

Selanjutnya, untuk risiko yang dapat diprediksi, implementasi aturan terkait dana jaminan reklamasi dan pascatambang menjadi langkah yang esensial. Hal ini memastikan bahwa perusahaan menempatkan dana jaminan sebelum memulai kegiatan pertambangan, sebagai langkah pencegahan dan tanggung jawab terhadap dampak lingkungan yang mungkin terjadi. Prinsip kehati-hatian juga menjadi kunci penting, di mana penetapan konsesi seharusnya tidak diberikan di kawasan konservasi. Pada tahap awal, izin harus diperoleh dari daerah terkait, dan penetapan wilayah harus menjadi tahap kunci untuk menghindari tumpang tindih hak lahan serta memastikan keberlanjutan lingkungan.

Selain itu, perizinan perlu diperkuat lebih lanjut agar dapat memberikan landasan hukum yang kuat untuk mengatur dan mengawasi kegiatan industri pertambangan nikel. Proses perizinan harus didesain sedemikian rupa untuk memastikan bahwa aspek-aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi dipertimbangkan secara komprehensif.[11] Langkah-langkah ini akan memberikan kepastian hukum dan mengurangi potensi konflik dengan masyarakat lokal. Dengan demikian, penguatan hukum dan penerapan resolusi ini dapat memberikan arah yang lebih baik untuk menjaga keseimbangan antara pembangunan industri dan pelestarian lingkungan di sektor pertambangan nikel di Indonesia.

Secara keseluruhan, industri pertambangan nikel memainkan peran penting dalam meningkatkan pendapatan nasional dan pembangunan daerah, terutama karena permintaan global yang tinggi untuk nikel. Namun, kesadaran akan pentingnya memperhatikan lingkungan hidup di sektor pertambangan nikel semakin meningkat, mengingat berbagai masalah lingkungan yang muncul. Undang-Undang Minerba, terutama Undang-Undang Nomor 11 Tahun tentang Cipta Kerja, cenderung berfokus pada hukum pemanfaatan sumber daya dan lingkungan, sehingga minimnya hukum pro-ekologis. Meskipun undang-undang Minerba memberikan kemungkinan untuk memanfaatkan kekayaan mineral, kurangnya perhatian terhadap perlindungan lingkungan terlihat, meskipun aspek-aspek penting dalam tahap pertambangan diatur di dalamnya. Oleh karena itu, diperlukan peran politik hukum lingkungan untuk memastikan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan, agar dapat  lebih memperhatikan aspek-aspek penting dalam tahapan kegiatan pertambangan nikel.[12]

Pembangunan industri nikel memiliki resiko tinggi dalam mendapatkan perizinan pembangunan, apabila merujuk dalam Peraturan Pemerintah No. 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Hal ini mendasari akan adanya percepatan transisi energi yang saat ini tengah terjadi yang kemudian meningkatkan tekanan permintaan mineral. 

Dalam peraturan pemerintah tersebut, perlunya diterapkan sebuah tanggung jawab terhadap para perusahaan nikel. Supaya hal yang terjadi pada Kawasan Hutan Luwu Raya tidak menjalar ke wilayah konservasi alam lainnya di daerah Indonesia yang kaya akan nikel. Menelisik apa yang telah dicantumkan dalam Peraturan Pemerintah No 5/2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, Indonesia menilai pertambangan nikel semua diklasifikasikan punya risiko tinggi. Untuk itu,  perlu diterapkan prinsip-prinsip terkait tanggung jawab korporasi, polluter pays principle (pencemar membayar), prevention principle (prinsip pencegahan), dan precautionary principle (prinsip kehati-hatian).


Sumber:

[1] Ahdiat, A. (2023, June 11). Cadangan Nikel Global Meningkat pada 2022, Tembus Rekor Baru. Katadata. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/11/06/cadangan-nikel-global-meningkat-pada-2022-tembus-rekor-baru

[2] Sumartiningtyas, H. K. N. (2021, November 26). Nikel Indonesia Mengguncang Dunia, Asal-usul Nikel dan Logam Apa Itu? Halaman all – Kompas.com. 

[3]Humas MKRI, “MK Kabulkan Sebagian Gugatan Walhi dalam Pengujian UU Minerba” Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 29 September 2022, tersedia pada https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=18560&menu=2, diakses pada tanggal 7 November 2023.

[4] Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, ESDM Nomor 7 Tahun 2020(1)(1).

[5] Al Farisi, Muhammad Salman, “Resentralisasi Kewenangan Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batura,” Jurnal Program Magister Hukum FH UI, Vol. 2, No. 1 (2022), Article 38. 

[6] Humas WALHI, “Selamatkan Hutan Hujan Sulawesi, Stop Tambang Nikel di Sulawesi Selatan,” Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, 22 Januari 2022, tersedia pada https://walhisulsel.or.id/3391-selamatkan-hutan-hujan-sulawesi-stop-tambang-nikel-di-sulawesi-selatan/ , diakses pada tanggal 7 November 2023.

[7] Fajar, J. (2022, January 25). WALHI Sulsel Minta Tambang Nikel Dihentikan. Ada Apa? – Mongabay.co.id. Mongabay.co.id.https://www.mongabay.co.id/2022/01/25/walhi-sulsel-minta-tambang-nikel-dihentikan-ada-apa/

[8] Wahyu Candra, “Hutan Sulsel Terancam Illegal Logging, Tambang dan Tata Kelola yang Buruk,” Mongabay, 18 Oktober 2021, tersedia pada https://www.mongabay.co.id/2021/10/18/hutan-sulsel-terancam-illegal-logging-tambang-dan-tata-kelola-yang-buruk/ , diakses pada tanggal 8  November 2023. 

[9]

 Baraputri, V. (2023, July 7). Nikel Indonesia: Limbah tambang mengancam lingkungan di Sulawesi Tenggara  – ‘Yang kamu rusak adalah masa depannya.’ BBC News Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/articles/c870n03351xo

[10] Sandra, “Apa Itu Polluter Pays Principle?,” Pajakku, 27 Mei 2021, tersedia pada https://www.pajakku.com/read/60ffa07a8f25dc113f232815/Apa-Itu-Polluter-Pays-, diakses pada tanggal 8 November 2023 

[11] Pradipta Pandu, “Ekspansi Pertambangan Nikel Picu Deforestasi Seluas 25.000 Hektar,” Kompas.id, 13 Juli 2023, tersedia pada https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/07/13/ekspansi-pertambangan-nikel-picu-deforestasi-seluas-25000-hektar, diakses pada tanggal 8 November 2023. 

[12]Soda, E. (2023, March 8). Ini sejumlah kendala hilirisasi mineral di Indonesia. MAJALAH TAMBANG ONLINE. https://www.tambang.co.id/ini-sejumlah-kendala-hilirisasi-mineral-di-indonesia

Exit mobile version