Melawan Praktek Monopoli Market Leader dan Manfaat Persaingan Usaha Bagi Konsumen : Studi Kasus AMDK ‘Aqua vs Le Minerale’

Oleh Sandri Bintang Marananta, Bagas Ibnu, Sagitio Anthoni (Divisi Perusahaan dan Anti-Monopoli)

Seiring berjalannya waktu, pasar Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) mengalami pertumbuhan karena pergeseran gaya hidup masyarakat yang lebih mengutamakan pada kepraktisan. Perubahan signifikan yang terjadi dalam industri AMDK dimulai dengan kemunculan merek Aqua pada tahun 1973. Sejak saat itu, Aqua terus tumbuh memenuhi tingginya permintaan pasar dengan meningkatkan kapasitas poduksi dan kualitas produknya hingga kini mendominasi pasar AMDK di Indonesia. Meskipun demikian, ada upaya dari pemain-pemain kecil dan lokal di industri ini yang berusaha untuk menggoyang dominasi Aqua. Hal ini terjadi karena pasar AMDK di Indonesia sangatlah menjanjikan, berdasarkan data dari statistik pada tahun 2023, pasar AMDK Indonesia berada di urutan kelima terbesar di dunia dengan pendapatannya mencapai USD 10,51 (152 Triliun Rupiah)[1]. Hal itu juga diperkuat oleh Rachmat Hidayat selaku Ketua Umum Perkumpulan Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (ASPADIN) bahwa setidaknya terdapat 700 Perusahan dan 2.000 merek industri AMDK di Indonesia pada tahun 2016[2]. Meskipun demikian, Aqua sampai saat ini masih memegang posisi utama sebagai pemimpin pasar industri air minum dalam kemasan di Indonesia dengan diikuti beberapa merek lainnya, seperti Le minerale.

Le Minerale merupakan merek yang baru diluncurkan pada tahun 2015 oleh PT Tirta Fresindo Jaya dan digadang-gadang sebagai pesaing kuat (potential competitor) Aqua di pasar AMDK saat itu. Hingga pada tahun 2016, muncul kontroversi yang diduga adanya tindakan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dalam pasar AMDK oleh PT Tirta Investama (PT TIV) dan PT Balina Agung Perkasa (PT BAP). Mereka dituduh menghambat outlet-outlet di wilayah Jabodetabek untuk menjual produk Le Minerale. Pada tahun 2015 hingga pertengahan tahun 2016, pihak PT TIV dan PT BAP secara lisan berkomunikasi dengan para pedagang Star Outlet (SO) yang tergabung dalam jaringan rantai distribusi PT TIV untuk tidak menjual produk AMDK merek Le Minerale. Para pedagang SO harus bersedia menerima konsekuensi berupa penurunan harga dari pihak PT TIV jika mereka tetap menjual produk merek Le Minerale dari produsen pesaing. Selain itu, terdapat bukti adanya korespondensi melalui email antara PT TIV dan PT BAP mengenai beberapa SO yang diberikan tindakan penurunan strata atau degradasi toko dari Star Outlet menjadi Wholesaler akibat tetap menjual produk Le Minerale. Tindakan yang dilakukan oleh PT TIV dan PT BAP membuat beberapa toko SO, yang terkena degradasi oleh PT TIV, dan PT Tirta Fresindo Jaya (PT TFJ) melaporkan PT TIV dan PT BAP kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Akibatnya, KPPU melakukan investigasi dan musyawarah terhadap laporan tersebut melalui sidang majelis komisi. Sidang tersebut menyatakan PT TIV dan PT BAP terbukti bersalah melanggar UU No. 5 Tahun 1999, yakni Pasal 15 ayat (3) huruf b dan Pasal 19 huruf a dan b[3]. Terhadap putusan tersebut, KPPU memberikan sanksi denda kepada produsen Aqua yaitu PT TIV sebesar Rp13,8 miliar dan kepada distributornya, yakni PT BAP sebesar Rp6,2 miliar[4]

Melalui kasus di atas ada 2 pokok pembahasan menurut penulis yang menarik untuk kita analisis bersama yaitu terkait perjanjian tertutup dan penguasaan pasar yang dilanggar oleh PT TIV dan PT BAP. Pertama, mengenai perjanjian tertutup yang sebelumnya telah diatur di dalam Pasal 15 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999. Perjanjian tertutup atau exclusive dealing merupakan perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha sebagai sarana dan upaya bagi pelaku usaha untuk dapat melakukan pengendalian terhadap pelaku usaha lain secara vertikal baik melalui pengendalian harga maupun pengendalian non-harga[5]. Perjanjian tertutup dapat dianggap sebagai barrier to entry yang menyebabkan inefisiensi pasar karena adanya integrasi vertikal di dalam pasar. Hal itu dapat menjadi masalah yang menghambat akses pesaing ke barang atau jasa yang ditawarkan oleh pemasok dan mengecualikan pesaing tersebut dari pasar atau secara material menghambat kemampuan pesaing untuk mengakses pasar[6]. Untuk membuktikan adanya pelanggaran perjanjian tertutup, dapat diperiksa berdasarkan rule of reason dengan menganalisis unsur “patut diduga” atau “yang dapat mengakibatkan” timbulnya praktik monopoli dan persaingan usaha berdasarkan unsur-unsur di dalam pasal 15 tersebut. Setelah itu, haruslah juga dibuktikan adanya penguasaan pasar oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dan adanya dampak terhadap persaingan dan kerugian konsumen akibat pelaksanaan perjanjian tertutup tersebut.[7]

Berdasarkan kasus sebelumnya dan bila dikaitkan dengan perjanjian tertutup, PT TIV dan PT BAP telah melanggar Pasal 15 ayat 3 huruf b UU No. 5 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa:

Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas barang dan/atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha yang menerima barang dan/atau jasa dari pelaku usaha pemasok…, b. tidak akan membeli barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku usaha yang lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok.[8] 

Peran PT TIV sebagai produsen produk Aqua menggunakan dua pola sistem distribusi yaitu melalui pasar modern (Modern Trade) dengan menjual produk secara langsung atau dibantu jasa distributor untuk menjual produk ke pasar umum (General Trade). Untuk menjual produknya ke pasar umum, PT TIV dibantu oleh beberapa distributor yang salah satunya adalah PT Balina Agung Perkasa (PT BAP). PT BAP kemudian menyalurkannya kembali ke sub-distributor melalui rantai distribusi (Supply Chain) yaitu Star Outlet (SO), Whole Saler (W), dan Retail (R). Rantai distribusi tersebut, menunjukkan level pedagang dengan target yang berbeda-beda dan semakin tinggi targetnya akan mendapatkan harga serta keistimewaan sendiri dari produsennya. Melalui proses sistem distribusi inilah, PT TIV melakukan perjajian tertutup secara vertikal dengan distributor dan sub-distributornya. Pokok isi perjanjian tertutup tersebut mengenai kebijakan pengaturan harga oleh PT TIV yang membedakan harga di tiap level rantai distribusi dan ancaman degradasi bagi SO apabila menerima atau membeli produk Le Minerale. Ancaman degradasi tersebut ditujukan untuk rantai distribusi yang semula levelnya sebagai SO menjadi Whole Saler. Akibat dari ancaman tersebut membuat pedagang SO menjadi enggan menerima atau membeli produk Le Minerale karena terancam kehilangan berbagai privilege SO termasuk selisih harga produk yang cukup signifikan antara SO dengan Whole Saler. Oleh karena itu, perjanjian tertutup telah berubah menjadi malicious dalam bentuk praktek monopoli dan antipersaingan serta menjadi entry barrier terhadap produk Le Minerale ke pasar AMDK.

Tindakan antipersaingan yang dilakukan oleh PT TIV dan PT BAP tentu saja didasari oleh posisi Aqua sebagai penguasa pasar AMDK sejak 1975[9]. Ada sebuah kutipan “Those who have power tend to maintain their power” yang diungkapkan oleh Lord Acton 1887, yang dalam dunia usaha ungkapan tersebut juga dikenal dengan istilah “Praktek Monopoli”. Ketika perusahaan memiliki posisi monopoli atau posisi dominan, maka perusahaan memiliki kekuatan menentukan dan mengendalikan harga di pasar serta membatasi/menghilangkan pesaing nyata (exclude competitor)[10]. Dari teori tersebut, Aqua tentu saja akan memanfaatkan kekuatan monopoli (monopoly power) untuk mempertahankan dan meningkatkan posisinya di pasar AMDK. Hal inilah yang dilanggar dalam kasus tersebut terhadap Pasal 19 huruf a dan b UU Nomor 5 Tahun 1999 yaitu: 

Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat berupa; a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan; atau; b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu.” 

Aqua melalui PT TIV dan PT BAP secara bersama-sama telah memanfaatkan posisi dominansinya di pasar AMDK untuk membatasi atau menghalangi pedagang toko SO melakukan hubungan bisnis dengan pelaku usaha pesaing. Tindakan tersebut dilakukan dengan menyebarkan form sosialisasi kepada rantai distribusinya sebagai bentuk perjanjian antara para pedagang SO dengan PT TIV agar tetap loyal dan tidak menjual produk Le Minerale di toko mereka. Akibatnya, produk Le Minerale menjadi tidak tersedia di pasar dan konsumen tidak bisa melakukan pembelian produk Le Minerale pada toko-toko SO yang mengikuti kebijakan tersebut. Hal ini sebenarnya dapat terjadi karena PT TIV memiliki produk Aqua yang mendominasi pasar AMDK. Sehingga para pedagang toko SO dihadapkan pada pilihan yang memaksa mereka untuk menyetujui perjanjian tersebut agar tidak kehilangan pasar konsumen produk Aqua yang lebih banyak dibandingkan produk Le Minerale. Dengan demikian, kesimpulan bahwa praktek monopolisasi yang dilakukan oleh PT TIV dan PT BAP dapat efektif terjadi karena adanya faktor posisi dominan produk Aqua di pasar AMDK. 

Strategi perjanjian tertutup dan pemanfaatan posisi penguasaan pasar pada kasus tersebut jelas telah menggangu prinsip persaingan usaha yang diniscayakan oleh undang-undang. Kerugian yang diderita oleh para pihak-pihak atas tindakan tersebut tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh perusahaan. Toko-toko SO mengalami penurunan omset karena harus membayar lebih mahal untuk mendapatkan produk Le Minerale agar dapat melayani pelanggannya. PT TFJ selaku produsen Le Minerale juga mengalami penurunan 100.000 karton per bulan yang sangat merugikan perusahaan. Serta hilangnya kesejahteraan (welfare loss) konsumen karena meningkatnya harga yang harus dibayar berbanding terbalik dengan terbatasnya pilihan produk pelaku usaha pesaing di pasar. Oleh karena itu, pelanggaran undang-undang tentang larangan monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat (UU No. 5 Tahun 1999) dalam kasus ini sudah selayaknya dijadikan pembelajaran bersama agar tidak terulang kembali di kemudian hari. Keniscayaan persaingan usaha yang sehat di pasar yang bersangkutan sangat diharapkan untuk memberikan manfaat besar bagi konsumen. Jika persaingan sehat yang terjadi antara Aqua dan Le minerale tentu akan memaksa keduanya untuk terus meningkatkan produk dan layanan mereka. Ini memberikan konsumen pilihan yang lebih baik, kualitas yang lebih tinggi, dan harga yang lebih kompetitif. Selain itu, persaingan juga mendorong inovasi, investasi dalam penelitian dan pengembangan, serta efisiensi dalam operasi perusahaan. Akhirnya, ini memberikan dampak positif pada kesejahteraan konsumen, yang dapat menikmati produk berkualitas dengan harga yang lebih terjangkau.Walaupun demikian, dalam kasus “Aqua vs Le Minerale” tujuan hukum yang ada terbukti cukup efektif dalam menangani pelanggaran praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. Efektivitas tersebut ditunjukkan dengan Le minerale yang dilindungi dari perbuatan monopoli yang dilakukan oleh Aqua dan adanya penegakan hukum berupa sanksi yang diberikan kepada Aqua. Namun, ada beberapa saran untuk perbaikan atau perubahan hukum yang dapat meningkatkan perlindungan persaingan usaha yang sehat di Indonesia. Pertama, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan terhadap perusahaan besar atau market leader untuk mencegah praktik monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat. Langkah-langkah pencegahan, seperti audit rutin dan pelaporan yang ketat, dapat membantu mendeteksi dan mencegah pelanggaran. Kedua, hukuman yang lebih tegas dan penalti yang signifikan harus diterapkan terhadap perusahaan yang terbukti melanggar undang-undang anti monopoli. Ini akan memberikan dorongan kuat kepada perusahaan untuk mematuhi hukum dan tidak terlibat dalam praktik-praktik yang merugikan pesaing dan konsumen. Ketiga, meningkatkan kesadaran tentang hukum anti monopoli di kalangan pengusaha dan konsumen sangat penting. Pelatihan dan edukasi tentang prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat dan dampak negatif praktik monopoli harus disediakan. Akhirnya, mendorong pelaporan tindakan monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat dengan memberikan perlindungan kepada whistleblower atau pihak yang memberikan informasi penting akan membantu mengungkapkan pelanggaran yang mungkin terjadi. Dengan demikian, secara keseluruhan kasus “Aqua vs Le Minerale” menggarisbawahi pentingnya menjaga persaingan usaha yang sehat dan mencegah praktik monopoli. Persaingan yang kuat memberikan manfaat besar bagi konsumen, seperti pilihan yang lebih baik, kualitas yang lebih tinggi, dan harga yang lebih terjangkau. Dengan langkah-langkah ini, Indonesia dapat memastikan bahwa pasar tetap adil dan konsumen mendapatkan manfaat yang maksimal.


Sumber:

[1] Tim VALIDNEWS, “Bisnis Menjanjikan Air Dalam Kemasan,” https://validnews.id/ekonomi/bisnis-menjanjikan-air-dalam-kemasan diakses 30 Oktober 2023

[2] Ibid.

[3] Putusan Perkara Nomor 22/KPPU-I/2016

[4] Ibid.

[5] Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 5 Tahun 2011, hlm.15.

[6] Laura Nurski & Frank Verboven, “Exclusive Dealing as a Barrier to Entry? Evidence from Automobiles”, The Review of Economic Studies, 83(3 (296), 2016, hlm. 1156-1188.

[7] Andri Rio Pane, “Substansi Perjanjian Tertutup yang Dikualifikasikan Melanggar Hukum Persaingan Usaha (Studi Putusan Perkara Nomor 31/KPPU-I/2019)” (Thesis, Universitas Islam Indonesia, 2022), hlm.65-66.

[8] Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Pasal 15 ayat 3 point b

[9] Tim TEMPO.CO, “Aqua Mendominasi Pangsa Pasar Air Kemasan,” https://grafis.tempo.co/read/1215/aqua-mendominasi-pangsa-pasar-air-kemasan diakses pada 09 November 2023

[10] Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *