Business Law Community FH UGM

Kebakaran Depo Pertamina Dari Masa ke Masa, Apa Pertanggungjawaban Hukumnya?

Oleh Ni Luh Suci Putu Kharisma dan Fitri Octafiyanti (Divisi Energi dan Sumber Daya Mineral)

Indonesia sudah sangat dikenal oleh seluruh pelosok dunia sebagai negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Salah satu contoh dari sekian banyak sumber daya alam yang dimiliki oleh Indonesia adalah minyak bumi. Minyak bumi merupakan salah satu komoditas yang memiliki pengaruh penting dalam ekonomi dan geopolitik.  Peran minyak bumi dalam ekonomi yaitu: (1) sebagai sumber pendapatan negara bagi negara produsen minyak, (2) berkontribusi dalam menyumbang PDB (Produk Domestik Bruto), dan (3) negara produsen minyak memiliki kecenderungan untuk menciptakan lapangan pekerjaan baik secara langsung di sektor migas maupun sektor lainnya yang berhubungan. Sedangkan, peran minyak bumi dalam geopolitik yaitu adanya diplomasi energi antar negara. Dalam hal ini, negara pengekspor minyak bumi memiliki pengaruh besar dalam diplomasi energi sehingga dengan mereka melakukan ekspor minyak dapat dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan politik antar negara sehingga dapat memberikan kekuatan dalam menjaga hubungan internasional. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa minyak bumi memiliki peran yang krusial dalam keberlangsungan hidup manusia.

Melihat Indonesia memiliki minyak bumi yang melimpah serta didukung dengan fakta bahwa minyak bumi memiliki peran yang penting dan sangat beneficial untuk keberlangsungan hidup manusia. Pemerintah c.q PT Pertamina (Persero) tentunya mendirikan infrastruktur yang dapat menampung dan mengolah minyak bumi yaitu Depo dan Kilang minyak. Depo minyak atau Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) adalah fasilitas yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan minyak mentah dan tempat distribusi minyak bumi sebelum nantinya dilakukan pengolahan. Sementara, kilang minyak merupakan fasilitas yang memiliki fungsi untuk mengolah minyak bumi mentah menjadi berbagai produk bahan bakar, produk non-bahan bakar serta petrokimia. Hingga saat ini terdapat 7 kilang minyak yang tersebar di seluruh Indonesia diantaranya yaitu: (1) Kilang Minyak Plaju, Sumatera Selatan, (2) Kilang Minyak Pangkalan Brandan, Sumatera Utara, (3) Kilang Minyak Putri Tujuh, Riau, (4) Kilang Minyak Cilacap, Jawa Tengah,  (5) Kilang Minyak Balikpapan, Kalimantan Timur, (6) Kilang Minyak Balongan, Jawa Barat, dan (7) Kilang Minyak Kasim, Papua.[1] Sementara, depo tersedia lebih dari 140 yang tersebar di seluruh Indonesia. Dengan adanya depo dan kilang minyak merupakan pondasi yang fundamental untuk memenuhi kebutuhan energi, mencapai ketahanan energi, mendukung perekonomian dan kesejahteraan masyarakat serta menjadi penopang stabilitas negara.

Telah berdirinya depo dan kilang minyak di Indonesia[2] dengan tujuan agar penyimpanan, pengelolaan dan pendistribusian minyak dapat dijalankan sesuai prosedur dan operasional yang berlaku ternyata tidak menutup fakta bahwa di lapangan menyatakan hal yang sebaliknya. Fakta di lapangan menjelaskan bahwa banyaknya permasalahan yang terjadi seperti halnya kebakaran di depo dan kilang minyak dalam 10 tahun terakhir diantaranya yaitu:[3]

Depo Plumpang (Kebakaran I)

Hari/Tanggal Kejadian : Minggu, 18 Januari 2009

Waktu Kejadian            : Pukul 21.15 WIB

Penyebab Kebakaran    : Gesekan antara slot ukur dan alat pengambil sampel bahan bakar   minyak (BBM) yang kemudian menimbulkan percikan api lalu menyambar tangki nomor 24 yang dimana kobaran api berasal dari tangki premium yang berkapasitas 5.000 kiloliter. Hal ini   disebabkan karena faktor human error

Akibat Kebakaran         : 1 korban tewas yaitu petugas keamanan, PT Pertamina (Persero) menyatakan bahwa dengan adanya kebakaran tersebut mengakibatkan kerugian hingga Rp.17M, Walaupun terjadi kebakaran hebat tetapi tidak menimbulkan korban masyarakat di sekitar depo

Kilang Balongan

Hari/Tanggal Kejadian : Senin, 29 Maret 2021

Waktu Kejadian            : Pukul 00.45 WIB

Penyebab Kebakaran    :Meledaknya tangki Pertamina Balongan diduga diakibatkan adanya kebocoran Tangki G Kilang Balongan karena terjadi sambaran petir travelling yang menyebabkan degradasi pada dinding Tangki G yang menyebabkan penurunan penipisan dinding kemudian terjadinya segitiga api (oksigen, vapor hydrocarbon, sambaran petir) yang berkobar membakar tiga unit Tank Product Premium

Akibat Kebakaran         : 1 korban tewas, 5 orang luka berat, 2778 rumah warga rusak

Kilang Cilacap

Hari/Tanggal Kejadian : Jumat, 11 Juni 2021 dan Sabtu, 13 November 2021

Penyebab Kebakaran    : Penyebab kebakaran masih belum diketahui secara pasti. Namun, dugaan utama terjadinya kebakaran disebabkan oleh petir karena pada saat insiden terjadi sedang hujan lebat disertai petir.

Akibat Kebakaran         : Di kebakaran yang terjadi pada bulan November, berdasarkan perhitungan pakar ekonomi Institute For Development of Economic and Finance (Indef), Abra Talattov, jika tangki yang terbakar dengan kapasitas sekitar 31.000 kiloliter terisi penuh, maka kerugian dapat mencapai Rp. 237 miliar dengan harga Pertalite.[4] Akibat kebakaran tersebut yang dirasakan oleh warga sekitar adalah terjadi krisis air bersih karena air sumur, sawah dan parit berubah warna menjadi hitam kebiru-biruan karena disebabkan oleh asap partikel kebakaran yang tercampur bersama jatuhnya air hujan.

Kilang Balikpapan

Hari/Tanggal Kejadian : Jumat, 4 Maret 2022 dan Selasa, 15 Mei 2022

 Penyebab Kebakaran : Pada kebakaran pertama disebabkan oleh flash di inlet pipa finfa cooler hydrocracker B di Refinery Unit (RU) V Balikpapan

Akibat Kebakaran         : Pada kebakaran kedua menimbulkan 1 korban tewas yaitu pekerja kilang dan 5 orang pekerja mengalami luka bakar

Depo Plumpang (Kebakaran II)

 Hari/Tanggal Kejadian : Jumat, 3 Maret 2023

 Penyebab Kebakaran    : Terdapat 3 dugaan penyebab terjadinya kebakaran yaitu dugaan pertama karena adanya kesalahan teknis saat pengisian bahan bakar, dugaan kedua karena sambaran petir yang mengenai bahan bakar atau uap karbon sehingga terjadi percikan api dan kebakaran, dan dugaan terakhir adanya kebocoran pipa.[5]

Akibat Kebakaran         : 19 korban tewas, dan 50 orang dirawat di RS karena mengalami luka-luka

Merujuk pada data yang ada bahwa terjadi permasalahan yang cukup fatal di ranah migas Indonesia, dengan melihat fakta bahwa kebakaran tersebut mengakibatkan begitu banyak dampak negatif diantaranya lingkungan sekitar depo dan kilang tercemar, kerugian secara finansial akibat kebakaran dan menurunnya investasi dari investor, hingga dampak negatif yang paling memprihatinkan dari adanya kebakaran yaitu banyaknya orang yang mengalami luka-luka hingga merenggut korban jiwa. Lantas, bagaimana pertanggungjawaban negara atas kerugian yang diakibatkan oleh kebakaran yang terjadi di depo dan kilang minyak milik PT Pertamina (Persero)?

Pertanggungjawaban berasal dari kata tanggungjawab. Berdasar pada KBBI, Pengertian tanggungjawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatunya hak fungsi menerima pembebanan sebagai akibat sikap pihak sendiri atau pihak lain.[6] sedangkan Pertanggungjawaban adalah perbuatan bertanggungjawab untuk sesuatu yang di pertanggungjawabkan. Dalam pengertian dan praktis, istilah liability menunjuk pada pertanggungjawaban hukum yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang dilakukan oleh subjek hukum.[7] 

Depo Pertamina Plumpang adalah Obyek Vital Nasional yang mana diputuskan dalam Keputusan Menteri ESDM NO. 270.K/HK.02/MEM.S/2022. Yang dimaksud sebagai Obyek Vital Nasional adalah kawasan/lokasi, bangunan/ instalasi dan/atau usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis.[8] Meskipun  Objek Vital Nasional merupakan instruksi  menteri  dan  regulasi yang ada tidak menjadi jaminan bahwa bencana tidak akan terjadi, terbukti dengan sudah banyaknya terjadi kebakaran pada Depo Pertamina.

Pada hakikatnya lahan yang digunakan oleh Depo Pertamina Plumpang telah memiliki legalitas yang mana tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No.190/HGB/DA/76. Yang mana tanah tersebut merupakan milik Negara dengan status Hak Guna Bangunan yang tercatat berhak atas 153 Hektar tanah dan dikuasai oleh PT.Pertamina Plumpang. Namun, pada penerapannya Depo Pertamina Plumpang hanya menggunakan 70 Hektar tanah sehingga banyak masyarakat membangun pemukiman disana.

Setelah terjadinya kebakaran Depo Pertamina Plumpang, dibutuhkan pertanggungjawaban hukum yang sifatnya represif sebagai akibat dari kerugian yang timbul dari peristiwa tersebut wujud dari perlindungan hukum. Dan sebagai upaya hukum represif atas peristiwa tersebut diperlukan untuk menentukan pihak-pihak mana saja menurut hukum harus bertanggung jawab. Dalam peristiwa ini terdapat beberapa pihak yang dapat dimintai pertanggungjawabannya.

Dalam hal ini pemerintah turut ikut terjun untuk dimintai pertanggungjawaban hukum disebabkan oleh beberapa factor, yang pertama karena status Depo Pertamina Plumpang yang merupakan Objek Vital Nasional sehingga dalam pelaksanaanya diterbitkan Instruksi Menteri dalam melakukan pengamanan internal yang mana tercantum dalam Keputusan Presiden bahwa “Pengelola Obyek Vital Nasional bertanggungjawab atas penyelenggaraan pengamanan Obyek Vital Nasional masing-masing berdasarkan prinsip pengamanan internal”.[9] Dalam hal ini telah terjadi kelalaian yang dilakukan oleh pengelola Objek Vital Nasional sehingga menyebabkan terjadinya kebakaran. Yang kedua, pemerintah menerbitkan IMB sementara di lahan milik PT.Pertamina, sehingga masyarakat dapat tinggal di tanah tersebut padahal pada hakikatnya lahan tersebut tidak diperuntukkan untuk tempat tinggal karena rawan terjadi kebakaran. Jarak antara pemukiman dan Depo Pertamina Plumpang hanya 500 meter sedangkan idealnya jarak antara pemukiman dan lokasi industry minimal 2 km.[10] IMB yang diberikan kepada masyarakat melangkahi regulasi bahwa pengajuan IMB harus menyertakan bukti status kepemilikan tahan, sedangkan dalam Surat  Keputusan  Menteri Dalam Negeri No.190/HGB/DA/76 telah ditetapkan bahwa PT.Pertamina Plumpang memiliki legalitas tanda bukti hak kepemilikan tanah yaitu Hak Guna Bangunan.

Pada kasus ini, telah terjadi penumpukan legalitas antara IMB yang dimiliki masyarakat dan Hak Guna Bangunan yang dimiliki PT.Pertamina Plumpang, sehingga pemerintah harus bertanggung jawab karena telah mengambil keputusan yang berlawanan dengan hukum. Oleh karna itu pertanggungjawaban yang dapat dilakukan pemerintah ialah dengan membatalkan IMB yang mana tercantum dalam UU bahwa keputusan dapat dibatalkan oleh pejabat yang menetapkan keputusan apabila ditemukannya cacat wewenang, prosedur dan/atau substansi dengan ditetapkan suatu keputusan pembatalan dan/atau keputusan pencabutan[11] dan sesuai dengan asas contrarius actus yang maksudnya bahwa Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan izin berhak untuk mencabut izin tersebut.[12]

Langkah selanjutnya dari pembatalan IMB, pemerintah bertanggung jawab untuk melakukan relokasi warga ke rumah susun beserta fasilitasnya baik dari segi pendidikan, kesehatan, tempat ibadah, transportasi serta lahan untuk bekerja yang mana sejalan dengan fungsi kesejahteraan social yang merupakan kewajiban Negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar.[13]

 Mekanisme pertanggungjawaban korporasi  dikenal  dengan  istilah konsep Vicarious  Liability (doktrin pertanggungjawaban  pengganti). Maksud dari konsep Vicarious Liability adalah pertanggung jawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain.[14] Pada hakikatnya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 telah memasukkan korporasi sebagai subyek hukum, namun KUHP baru belum berlaku secara sah di Indonesia sehingga segala perbuatan melawan hukum yang terjadi masih harus berdasar pada KUHP lama sesuai dengan asas legalitas.

Kebakaran Depo Pertamina Plumpang sebenarnya memenuhi ketentuan dalam pasal 188 KUHP yang berbunyi “Barang siapa karena kesalahan (kealpaan) menyebabkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, jika karena perbuatan itu timbul bahaya umum bagi barang, jika karena perbuatan itu timbul bahaya bagi nyawa orang lain, atau jika karena perbuatan itu mengakibatkan orang mati.”[15] Namun, dalam pengaplikasiannya pasal tersebut tidak diperuntukkan untuk korporasi melainkan untuk manusia. Oleh karena itu, PT.Pertamina Plumpang (Korporasi) tidak memenuhi unsur yang terdapat dalam pasal 188 KUHP dan terbebas dari pertanggungjawaban pidana.

Terlepas dari jeratan pertanggungjawaban pidana, kebakaran Depo Pertamina Plumpang telah memberikan kerugian materiil dan immaterial terhadap masyarakat. Dalam hal ini, PT.Pertamina Plumpang terjerat pertanggungjawaban hukum perdata yang mana dalam hukum perdata yang menjadi subyek hukumnya adalah manusia dan korporasi atau badan hukum. Sehingga sesuai dengan pasal 1356 KUHPer “Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.[16] Oleh karena itu, seluruh masyarakat sekitar Depo Pertamina Plumpang dapat menuntut ganti rugi dalam beberapa penuntukan, 1) Ganti rugi dalam bentuk uang, 2) Ganti kerugian berupa pengembalian dalam bentuk semua, 3) Pernyataan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan melawan hukum, 4) Larangan untuk melakukan suatu perbuatan, 5) Meniadakan sesuatu yang diadakan secara melawan hukum, 6) Pengumuman daripada keputusan atau sesuatu yang telah diperbaiki.

Dalam Peristiwa kebakaran Depo Pertamina Plumpang yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum adalah Pemerintah dan PT.Pertamina Plumpang. Dalam hal ini, pemerintah bertanggungjawab dalam hal terjadinya tumpang tindih legalitas antara Hak Guna Bangunan dan juga IMB yang  dimiliki  oleh  masyarakat.  Mengacu pada  PP  Nomor 36/2005, seharusnya yang berhak mengajukan Izin mendirikan Bangunan adalah PT. Pertamina Plumpang selaku pemilik Hak Guna Bangunan. Maka, atas langkah tersebut pemerintah harus bertanggung jawab karena telah mengambil tindakan yang bertentangan.  

Sama halnya dengan pemerintah, PT.Pertamina Plumpang juga memiliki pertanggungjawaban hukum karena memenuhi pasal 1365 KUHPer yang mana setiap korban yang terkena dampak langsung dari kebakaran Depo Pertamina Plumping dapat mengajukan tuntutan ganti rugi. PT.Pertamina Plumpang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena pada saat ini Indonesia masih mempergunakan KUHP lama yang menetapkan bahwa korporasi tidak merupakan subyek hukum.


Sumber:

[1] Puspasari Setyaningrum. “7 Kilang Minyak Milik Indonesia, dari yang Tertua hingga Terbesar”, https://regional.kompas.com/read/2022/01/17/205711878/7-kilang-minyak-milik-indonesia-dari-yang-tertua-hingga-terbesar?page=all (diakses 21 Juli, 2023).

[2] Siti Ayu Rachma. “Pertamina Punya 140 Depo BBM, Terbanyak di Sumatera dan Jawa”, http://www.merdeka.com/uang/pertamina-punya-140-depo-bbm-terbanyak-di-sumatera-dan-jawa.html# (accessed July 21, 2023).

[3] Muhamad Fajar Riyandanu. “Daftar Kebakaran Kilang Pertamina 10 Tahun Terakhir, Terbaru Plumpang”, Nasutionhttps://katadata.co.id/ameidyonasution/berita/6405ddb843ea6/daftar-kebakaran-kilang-pertamina-10-tahun-terakhir-terbaru-plumpang (diakses 21 Juli, 2023).

[4] Envi. “Kebakaran Kilang Minyak Pertamina”, https://envihsa.fkm.ui.ac.id/2021/12/23/kebakaran-kilang-minyak-pertamina/ (diakses 21 Juli, 2023)

[5] M Nurhadi. “3 Dugaan Penyebab Kebakaran Depo Pertamina Plumpang”. https://www.suara.com/news/2023/03/05/191337/3-dugaan-penyebab-kebakaran-depo-pertamina-plumpang?page=all (accessed July 21, 2023).

[6] H. Muhammad Syarif Nuh. (2012). Hakikat Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah dalam Penyelenggaraan Pemerintahan. MMH, 4(1), hal.50.

[7] Andriansyah. (2015),Buku Pintar Hukum Perseroan Terbatas (cetakan pertama), Jakarta: Raih Asa Sukses (Penebar Swadaya Grup).

[8] Presiden Republik Indonesia, keputusan presiden republik indonesia nomor 63 tahun 2004 tentang pengamanan obyek vital nasional, pasal 1.

[9] Ibid., pasal 4

[10] Mentri Perindustrian Republik Indonesia, Peraturan Mentri Perindustrian Republik Indonesia no.40/M-IND/PER/6/2016 Tentang Pedoman Teknis Pembangunan Kawasan Industri, hal.8.

[11] UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pasal 66.

[12] Philipus M Hadjon Tatiek, Argumentasi Hukum (Yogyakarta:Gadjah Mada University Press,2009).

[13] Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 34.

[14] Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Perkembangan dan Penerapan, Rajawali Pers, Jakarta, 2015, hlm. 133.

[15] KUHP, pasal 188 ( L.N. 1960 – 1)

[16] KUHPer, pasal 1365

Exit mobile version