Business Law Community FH UGM

Meninjau Penerapan Green Banking di Indonesia: Quo Vadis? 

Oleh Anisa Puspita Camelia,  Diandra Nitisara, dan Muhammad Machshush Bil Izzi  

(Divisi Pembiayaan dan Perbankan)

Latar Belakang

Perbankan atau keuangan berkelanjutan adalah topik yang cukup hangat dibicarakan khususnya di abad dua puluh satu. Hal tersebut sejalan dengan maraknya pembicaraan mengenai sustainability. Pembicaraan mengenai sustainability melibatkan pemerintah, non-government  organization (NGO), masyarakat, perusahaan, dan juga institusi finansial, termasuk bank. Dalam rangkaian acara G-20 yang diselenggarakan tahun lalu, isu mengenai keuangan berkelanjutan juga turut disorot melalui seminar “Scaling up the Utilization of Sustainable Financial Instruments” yang dibuka oleh Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo.[1] Dalam seminar tersebut dijelaskan bahwa perbankan dapat menerapkan keuangan berkelanjutan dengan menerbitkan obligasi dan pembiayaan berkelanjutan untuk mendukung proyek hijau dan pasar UMKM,[2] yang mana hal tersebut sejalan dengan prinsip green banking

Sejauh ini belum ada satu definisi yang disetujui secara universal mengenai apa itu green banking, tetapi beberapa peneliti dan organisasi telah mencoba merangkai definisinya sendiri mengenai green banking.[3] Menurut Indian Institute for Development and Research in Banking Technology (IDRBT) yang didirikan oleh Reserve Bank of India, green banking adalah suatu umbrella term yang mengacu pada praktik dan pedoman yang membuat bank menerapkan prinsip berkelanjutan dalam dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial.[4] Dari definisi tersebut dapat juga ditarik kesimpulan bahwa green banking merupakan upaya perbankan untuk mengutamakan pemenuhan keberlanjutan dalam penyaluran kredit atau kegiatan operasionalnya. Dapat dikatakan bahwa bank mungkin tidak secara langsung bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan. Akan tetapi, bank memiliki peran dalam menyeleksi pembiayaan yang diajukan oleh debitur. Dari situ, prinsip green banking mendukung agar bank memberikan pembiayaannya terhadap bisnis atau proyek yang berkelanjutan. 

Sejauh ini belum banyak regulasi yang secara relevan mengatur mengenai green banking. Namun, ada beberapa regulasi yang menunjukan dorongan terhadap penerapan green banking diantaranya adalah UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU PPLH”) yang mendorong pengembangan sistem lembaga keuangan bank maupun non-bank dan pasar modal yang ramah lingkungan hidup sebagaimana disebutkan dalam Pasal 43 ayat (3) huruf c. Selain itu terdapat juga Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum yang mendorong bank-bank yang ada di Indonesia untuk mempertimbangkan faktor kelayakan lingkungan dalam melakukan penilaian suatu usaha. Kemudian ada juga Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 51/POJK.03/2017 yang secara umum mengatur tentang penerapan keuangan berkelanjutan bagi lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik.

Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya sustainability, terutama dalam sektor keuangan, green banking menjadi topik yang semakin menarik perhatian. Akan tetapi, meskipun terdapat beberapa regulasi yang mendukung penerapan green banking di Indonesia, tantangan dalam mengimplementasikan prinsip ini tetap ada. Oleh karena itu, artikel ini juga akan mencoba membahas mengenai potensi dan tantangan penerapan green banking dalam kegiatan perbankan di Indonesia, implementasi dan dampak praktik green banking di Indonesia sejauh ini, serta tinjauan yuridis dan rekomendasi pengaturan mengenai green banking

Potensi Pertumbuhan Industri Green Banking di Indonesia: Dukungan dan Permintaan

Potensi pengembangan green banking di Indonesia dapat terlihat dari dukungan para pelaku perbankan dan stakeholder yang terlibat dalam praktik green banking dan juga dari potensi pasar green banking di Indonesia. Maraknya pembicaraan mengenai transisi energi dan proyek-proyek berkelanjutan membuat green banking diproyeksikan memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Hal tersebut karena prinsip dasar dari green banking sendiri berupaya untuk mendorong kredit untuk pembangunan berkelanjutan. Prinsip-prinsip green banking dalam strategi pembangunan berkelanjutan juga terlihat dalam Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II (2021 – 2025) dari OJK. Disebutkan dalam roadmap tersebut bahwa prioritas pengembangan keuangan berkelanjutan pada tahun 2021 – 2025 ini adalah pengembangan taksonomi hijau yang bertujuan mengklasifikasikan aktivitas pembiayaan dan investasi berkelanjutan di Indonesia, Implementasi aspek lingkungan sosial dan tata kelola ke dalam manajemen risiko dengan tujuan meningkatkan daya tahan serta mitigasi risiko lingkungan dan sosial yang dapat mempengaruhi proses bisnis industri keuangan, serta pengembangan program riil dimaksudkan untuk memberikan contoh sukses pengembangan inovatif skema hijau sehingga meningkatkan peran industri keuangan dalam pembiayaan berkelanjutan.[5]

Dukungan dari pemerintah terkait pengembangan green banking yang mulai terlihat salah satunya dibuktikan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Pada Tahun 2022, LPS telah menggelar LPS Banking Award 2022 sebagai penghargaan bagi industri perbankan yang telah turut serta serta berperan aktif dalam mengembangkan industri keuangan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. LPS salah satunya juga memberikan penghargaan kepada bank-bank yang aktif dalam mempromosikan literasi keuangan dan green banking, yaitu penghargaan “Bank Teraktif dalam Praktik Green Banking” yang diberikan kepada BNI, PT Bank HSBC Indonesia, dan PT Bank Syariah Indonesia Tbk.[6] 

Potensi pasar green banking juga dapat terlihat dari pesatnya perkembangan green banking yang baru-baru ini mulai terasa, salah satunya dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI. Menurut Direktur Utama BNI, Royke Tumilaar, dalam CNBC Indonesia Economy Outlook 2023, portofolio BNI terkait aktivitas green banking semakin meningkat hingga melampaui 20% karena semakin besarnya kesadaran para pengusaha dalam menerapkan operasional lebih hijau, utamanya melalui penerapan teknologi.[7] Salah satu bentuk komitmen BNI dalam menjalankan green banking adalah melalui Sustainable Portofolio yang difokuskan pada sektor-sektor yang ramah lingkungan. Pada tahun 2022, sebanyak Rp 182,9 triliun atau 28,5% dari total portofolio kredit BNI dialokasikan untuk Kategori Kegiatan Usaha Berkelanjutan (KKUB).[8]

Selain itu, instrumen berprinsip green banking yang menunjukan tren naik di dunia perbankan adalah green bond atau obligasi berwawasan lingkungan. Dilansir dari CNBC Indonesia, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk telah menerbitkan Obligasi Berwawasan Lingkungan Berkelanjutan I Bank BRI atau Green Bond dengan menargetkan penghimpunan dana sebesar Rp 15 triliun, dengan jumlah emisi tahap I di tahun 2022 sebanyak-banyaknya Rp 5 triliun.[9] Tidak hanya BRI, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk juga berencana menerbitkan green bond atau obligasi hijau untuk mendukung pendanaan pada proyek-proyek berkelanjutan pada semester I 2023 senilai Rp5 triliun.[10] Tren tersebut juga salah satunya disebabkan oleh permintaan yang meningkat. Terbukti dari Green Bond BRI Tahap I Tahun 2022 yang resmi mendapatkan kelebihan permintaan (oversubscribed) sebanyak 4,4 kali.[11] Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dari segi dukungan para pelaku perbankan dan stakeholder yang terlibat dan dari potensi pasar, praktik green banking memiliki potensi perkembangan yang besar di Indonesia. 

Tantangan Penerapan Green Banking di Indonesia 

Penerapan Green-Banking di Indonesia hingga saat ini masih mengalami berbagai tantangan. Tantangan yang ada tersebut disebabkan karena kondisi Indonesia saat ini termasuk dalam negara berkembang. Karakterisasi dari negara berkembang adalah kondisi pertumbuhan ekonominya yang masih rendah sehingga dibutuhkan pembangunan ekonomi yang dimaksudkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat agar setara dengan tingkat hidup di negara maju. 

Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh Indonesia saat ini masih menganut paradigma greedy economy. Greedy economy merupakan istilah di mana fokus ekonomi hanya terbatas pada pertumbuhan ekonomi yang dinilai melalui pertumbuhan gross domestic product (GDP), melakukan eksploitasi kekayaan alam, dan aktivitas ekonomi yang bertumpu pada utang.[12] Dengan adanya paradigma tersebut maka akan berakibat pada tidak adanya pembangunan berkelanjutan dan hanya berfokus pada keuntungan semata. Penerapan paradigma tersebut dapat kita lihat dari peraturan pemerintah terkait dalam hal kemudahan investasi, pembebasan pajak pada sektor tertentu, hingga kredit longgar melalui bank untuk mendorong masifnya pertumbuhan usaha. 

Salah satu sektor yang mendukung pembangunan ekonomi yaitu bank sebagai lembaga keuangan, di mana kehadiran lembaga-lembaga tersebut sesuai fungsinya telah menyalurkan dananya kepada setiap sektor usaha. Akan tetapi, kehadiran bank di Indonesia sampai saat ini masih terbatas cara pandangnya, yaitu masih melihat pada aspek ekonomi semata (kelayakan ekonomi), belum melihat pada aspek yang lebih luas misalnya terkait dengan lingkungan hidup. Padahal bank memiliki peran besar dalam memberikan kredit yang digunakan oleh sektor usaha yang seringkali melakukan eksploitasi terhadap lingkungan dan mengakibatkan munculnya pencemaran lingkungan. Sehingga dapat disimpulkan bank dalam memberikan kredit kepada nasabah masih menggunakan paradigma greedy economy bukan green economy. Konsep green economy merupakan perubahan pandang terhadap pembangunan ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan 3P (people, profil, planet), perlindungan dan pengelolaan kekayaan alam serta partisipasi semua pihak.[13]

Selain itu, masih terdapat tantangan lain yang muncul dalam penerapan green banking di Indonesia. Tantangan tersebut terletak pada pencantuman klausul environmental provisions yang sampai saat ini sulit untuk dilakukan karena banyaknya kendala yang dihadapi oleh sektor perbankan. Kendala internal yang dihadapi adalah tidak ada kebijakan pengkreditan bank yang yang mengatur secara tegas untuk perlunya dicantumkan klausul yang memperhatikan aspek lingkungan (Anne Theresia, 2009).[14] Pencantuman klausul dalam upaya  kebijakan pengkreditan bank telah diterapkan di Amerika Serikat. Klausul tersebut memuat kewajiban debitur dalam membayar biaya audit awal lingkungan dan tahunan seperti yang tertera dalam kebijakan kreditur serta mengizinkan pihak bank untuk memasuki areal miliknya untuk kepentingan mengadakan pemeriksaan lingkungan.[15]

Sementara dari kendala eksternal yang dihadapi adalah persaingan antar bank yang cukup alot karena bank yang menerapkan syarat untuk memperhatikan aspek lingkungan dalam pemberian kredit tidak banyak diminati oleh nasabah sehingga banyak bank yang kurang mempertimbangkan aspek lingkungan dalam pemberian kreditnya karena khawatir akan kehilangan nasabah (Anne Theresia, 2009).[16] Kondisi tersebut dapat dibuktikan melalui data dari Katadata. Terdapat empat bank besar di Indonesia yang masih memberikan pinjaman kepada sektor batu bara. Hal tersebut tentunya tidak sesuai dengan prinsip green banking yang mengutamakan pembiayaan berkelanjutan. Bank Mandiri US$ 3,19 miliar atau sekitar Rp 47,64 triliun. Bank dengan pinjaman untuk sektor batu bara terbesar berikutnya yaitu BCA dengan US$ 170,46 juta (sekitar Rp 2,5 triliun), BRI dengan US$ 122,52 juta (Rp 1,83 triliun), dan BNI dengan US$ 53,36 juta (Rp 794,90 miliar).[17]

Implementasi dan Dampak Praktik Green Banking di Indonesia 

Implementasi green banking di Indonesia sebelum OJK berdiri, didasarkan pada Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/15/PBI tahun 2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum dan dengan peraturan ini BI mendorong perbankan nasional untuk mempertimbangkan faktor kelayakan lingkungan untuk menilai suatu prospek usaha. Peraturan tersebut merupakan tindak lanjut BI mengenai penetapan UUPPLH, Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan, serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 tahun 2012 tentang Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Analisis Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL).[18]

OJK kemudian mengeluarkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 51/POJK.03 tahun 2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten, dan Perusahaan Publik. Dengan adanya peraturan tersebut membawa dampak secara yuridis bagi Lembaga Jasa Keuangan perbankan dan non-perbankan dalam menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang tidak hanya pada pemberian kredit tetapi juga pada keseharian aktivitas perbankan. Dampak selanjutnya terkait implementasi peraturan di atas yaitu adanya kewajiban bagi perbankan untuk dapat mengikuti peraturan administratif seperti AMDAL dan melaksanakan peninjauan serta beberapa tes lanjutan yang menjadi dasar kemantapan perbankan untuk memberikan pembiayaan kepada nasabah dalam rangka menjalankan prinsip kehati-hatian.[19]

Hingga saat ini, implementasi green banking dalam dunia perbankan di Indonesia dapat dilihat dari program IKBI (Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia) yang telah diinisiasi oleh OJK yang berkolaborasi dengan WWF pada tahun 2018.[20] Keanggotaan IKBI tersebut terdiri dari BRI, Bank Mandiri, BNI, BJB, BRI Syariah, Bank Internasional Artha Graha, Bank Muamalat. Selanjutnya pada tahun 2019, keanggotaan tersebut bertambah lima bank yang terdiri dari Bank CIMB Niaga, Bank Syariah Mandiri,  Bank OCBC NISP, Maybank Indonesia, dan Bank HSBC Indonesia. 

Implementasi langsung yang dilakukan oleh perbankan dalam melaksanakan green banking, seperti yang telah dilakukan Bank Mandiri dalam menyalurkan dana sebesar 41,3 juta dolar di delapan daerah produsen pati singkong untuk pembangunan sistem pembangkit listrik tenaga biogas. Dari pengolahan air limbah pabrik-pabrik penghasil pati ini diharapkan dapat menghasilkan daya listrik mencapai 23,6 MW dan mengurangi emisi CO2 hingga 543 ribu ton per tahun.  Bank BRI juga menyalurkan kredit sebesar Rp.127 miliar kepada PT Geo Dipa Energi Persero yang mengelola fasilitas Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Dengan dana kredit tersebut, PT Geo Dipa dapat merevitalisasi dan mengoptimalisasi fasilitas yang mereka kelola sehingga dapat memproduksi listrik sebesar 800 MW.[21]

Implementasi green banking di Indonesia dapat memberikan dampak positif terhadap kepedulian masyarakat terhadap isu lingkungan. Saat ini, masyarakat pada umumnya telah memiliki inisiatif dalam menggunakan  produk ramah lingkungan. Jajak pendapat yang digelar pada periode 28 Maret – 4 April 2022 terhadap 3105 responden di seluruh Indonesia memperlihatkan bahwa masyarakat berupaya mencari informasi, memilih, hingga memiliki pemahaman terhadap dampak lingkungan dari produk yang digunakan. Kesadaran isu lingkungan di sektor keuangan juga ditunjukkan oleh responden yang berinvestasi di pasar saham. Sebanyak 66,1% responden memiliki saham di perusahaan yang mengutamakan praktik ESG. Alasan masyarakat memilih green investment dikarenakan merasa lebih aman dengan reputasi perusahaan yang baik (75,3%) dan membantu menjaga lingkungan (61,8%).

Kesimpulan

Green banking menjadi topik yang cukup menarik perhatian seiring meningkatnya pembicaraan mengenai pembangunan berkelanjutan. Dalam perkembangannya, green banking memiliki potensi yang besar melihat banyaknya dukungan para pelaku perbankan dan stakeholder lain yang terlibat dalam praktik green banking dan jumlah permintaan dalam pasar green banking di indonesia. Akan tetapi, potensi yang besar tersebut juga datang dengan beberapa tantangan. Dalam implementasinya, tantangan dalam praktik green banking salah satunya adalah paradigma greedy economy yang masih mendominasi pembangunan ekonomi di Indonesia. Tantangan lain yang muncul dalam penerapan green banking di Indonesia adalah pencantuman klausul environmental provisions yang sulit dilakukan karena banyaknya kendala yang dihadapi oleh sektor perbankan. Kendala eksternal yang dihadapi adalah persaingan antar bank yang cukup banyak karena bank yang menerapkan syarat untuk memperhatikan aspek lingkungan dalam pemberian kredit tidak banyak diminati oleh nasabah sehingga banyak bank yang kurang mempertimbangkan aspek lingkungan dalam pemberian kreditnya karena khawatir akan kehilangan nasabah.

Selain kendala eksternal, ada pula kendala internal yang dihadapi berupa tidak adanya kebijakan pengkreditan bank yang mengatur secara tegas untuk perlunya dicantumkan klausul yang memperhatikan aspek lingkungan. 

Saran

Implementasi dari green banking melalui POJK No.51/POJK.03/2017 dapat berjalan secara maksimal apabila diberlakukan penegakan peraturan yang lebih ketat. Penegakan peraturan dapat dimulai dengan adanya pembaharuan dalam hal sanksi dan insentif. Terkait dengan sanksi, pemerintah dapat melakukan penguatan dalam pengimplementasian sanksi administratif, seperti yang telah dilakukan dalam kasus yang terjadi pada tahun 2019 dimana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan sanksi administratif berupa denda kepada PT Bank Mandiri Tbk karena melanggar ketentuan peraturan OJK terkait penanganan risiko lingkungan dan sosial sehingga Bank Mandiri diharuskan membayar denda sebesar Rp 1,2 Miliar. 

Selanjutnya terkait pelaksanaan kebijakan insentif, OJK dapat memberikan pengurangan biaya green assurance untuk green projects seperti yang telah dilakukan oleh Jepang atau pemberian nilai plus untuk mengukur tingkat kesehatan bank dan pemberian green label untuk kantor cabang bank seperti yang telah dilakukan oleh pemerintah Bangladesh. Kebijakan tersebut diharapkan dapat menumbuhkan stigma masyarakat akan pentingnya pembangunan berkelanjutan dalam merespons terkait isu lingkungan.


Sumber:

[1]  Bank Indonesia, “Bank Indonesia Dorong Perkembangan Green Banking,” https://www.bi.go.id/id/publikasi/ruang-media/news-release/Pages/sp_245922.aspx (Diakses 17 April 2023).  

[2]  Ibid.

[3] Alexander, Kern. “Greening banking policy.” Support of the G20 Green Finance Study Group (2016).

[4]  Indian Institute for Development and Research in Banking Technology. “Greening Banking for Indian Banking Sector” (2013).

[5]  Otoritas Jasa Keuangan. Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II (2021 – 2025). 

[6]  Muslimawati, Nicha. “LPS Beri Penghargaan Bank Yang Aktif Dorong Literasi Keuangan-Green Banking.” kumparan. https://kumparan.com/kumparanbisnis/lps-beri-penghargaan-bank-yang-aktif-dorong-literasi-keuangan-green-banking-1zLP8fUITxg/full (Diakses 18 April 2023). 

[7] Syahputra, Eqqi. “BNI Optimis Porsi Green Banking Semakin ‘Garang’” CNBC Indonesia. 

https://www.cnbcindonesia.com/market/20230228180252-17-417713/bni-optimis-porsi-green-banking-semakin-garang (Diakses 18 April 2023). 

[8]  Ibid.

[9] Binekasri, Romys. “BRI Terbitkan Green Bond Berkelanjutan I Rp 15 Triliun”. CNBC Indonesia.  

https://www.cnbcindonesia.com/market/20220713200328-17-355444/bri-terbitkan-green-bond-berkelanjutan-i-rp-15-triliun (Diakses 18 April 2023).

[10] Utami, Sinar. “Bank Mandiri Bakal Terbitkan Obligasi Hijau Rp 5 Triliun di Semester I 2023”. Kumparan. 

https://kumparan.com/kumparanbisnis/bank-mandiri-bakal-terbitkan-obligasi-hijau-rp-5-triliun-di-semester-i-2023-1zhVdn1XXHI/2 (Diakses 18 April 2023).

[11] Syahputra, Eqqi. “ Laris Manis, Green Bond BRI Oversubscribed 4,4 Kali”. CNBC Indonesia. 

https://www.cnbcindonesia.com/market/20220707125830-17-353718/laris-manis-green-bond-bri-oversubscribed-44-kali#:~:text=Jakarta%2C%20CNBC%20Indonesia%20%2D%20Green%20Bond,dari%20sisi%20pendanaan%20atau%20liabilitas. (Diakses 18 April 2023).

[12]  RZK, “Sustainable Finance, Mengubah Paradigma Serakah Menjadi Hijau”. Hukumonline. https://www.hukumonline.com/berita/a/isustainable-finance-i–mengubah-paradigma-serakah-menjadi-hijau-lt56533b0576d41 (Diakses 16 April 2023).

[13]  Ibid.

[14]  Kliklegal.com, “Upaya Optimalisasi Green Financing dalam Kebijakan Kredit Perbankan di Indonesia”. Kliklegal. https://kliklegal.com/upaya-optimalisasi-green-financing-dalam-kebijakan-kredit-perbankan-di-indonesia/ (Diakses 17 April 2023).

[15]  Maramis Nicholas, “Tanggung Jawab Perbankan dalam Penegakan Green Banking Mengenai Kebijakan Kredit”, Lex et Societatis IV, no.6 (Juni 2016): 4.

[16]  Kliklegal.com, “Upaya Optimalisasi Green Financing dalam Kebijakan Kredit Perbankan di Indonesia”. Kliklegal. https://kliklegal.com/upaya-optimalisasi-green-financing-dalam-kebijakan-kredit-perbankan-di-indonesia/ (Diakses 17 April 2023).

[17]  Muhammad Fajar,”Riset: Bank Mandiri Pemberi Kredit Batu Bara Terbesar di Indonesia”. Katadata. https://katadata.co.id/happyfajrian/finansial/630ca411a47a6/riset-bank-mandiri-pemberi-kredit-batu-bara-terbesar-di-indonesia (Diakses 18 April 2023).

[18]  Setya Budiantoro (et.al), “Mengawal Green Banking Indonesia dalam Kerangka Pembangunan Berkelanjutan” (2014).

[19]  Muhammad Agus Salim, “Kesiapan Pemerintah Menerapkan Green Banking Melalui POJK dalam Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan Berdasarkan Hukum Positif di Indonesia”, (Tesis Universitas Padjadjaran, 2018).

[20]  WWF Indonesia, “13 Bank Besar Dorong Pembiayaan Ramah Lingkungan”. WWF. https://www.wwf.id/publikasi/13-bank-besar-dorong-pembiayaan-ramah-lingkungan (Diakses 18 April 2023).

[21]  Responsi Bank Indonesia, “Mengawal Green Banking Indonesia dalam Kerangka Pembangunan Berkelanjutan” (2013).

Exit mobile version