KAJIAN HUKUM PENERAPAN PAJAK KARBON DI INDONESIA

Oleh Laras Prameswari Putri Maharsi (2022), Najla Nazhira Chairani (2021), Theodore Daniel Wattimena (2021)

Divisi Hukum Energi dan Sumber Daya Mineral

Seiring berjalannya waktu, pemanasan global memberikan dampak negatif yang cukup signifikan kepada makhluk hidup. Salah satu kontributor terjadinya pemanasan global adalah polusi udara dikarenakan penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor seperti motor, mobil, bus, dan yang lainnya. Hal yang diupayakan pemerintah Indonesia untuk mengurangi hal tersebut adalah dengan menerapkan pajak karbon (carbon tax). Pajak karbon merupakan pajak yang dikenakan kan untuk bahan bakar yang mengandung hidrokarbon[1].

Indonesia telah menargetkan untuk mengurangi emisi karbon dengan menaikan target Enhanced Nationally Determined Contribution (E-NDC). Target yang diinginkan adalah untuk menaikan E-NDC menjadi 32% pada tahun 2030[2]. Dengan diterapkannya pajak karbon dapat mengurangi eksternalitas dari pemanasan global. Aturan mengenai penerapan karbon tertera pada UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Pasal 13 ayat 1. Pada UU tersebut, seharusnya pajak karbon diterapkan pada tanggal 1 April 2022. Akan tetapi pada pembukaan Capital Market Summit & Expo 2022, Menteri Koordinator Bidang perekonomian Airlangga Hartanti mengatakan bahwa penerapan pajak karbon akan dilaksanakan pada tahun 2025. [3]

Dengan diterapkannya pajak karbon, hasil yang diharapkan oleh pemerintah Indonesia adalah pengurangan emisi karbon di Indonesia. Selain mengurangi pengurangan emisi karbon, penerapan pajak karbon dapat membantu perekonomian Indonesia, dikarenakan dapat menurunkan minat konsumer untuk menggunakan bahan bakar fosil.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) merupakan dasar hukum utama dari penerapan pajak karbon di Indonesia. Terdapat beberapa perubahan ketentuan terkait pajak karbon dalam UU HPP dengan usulan awal pemerintah dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Perbedaan yang paling signifikan adalah adanya ketentuan mengenai peta jalan pajak karbon dan peta jalan pasar karbon dalam UU HPP. Dalam Penjelasan UU HPP juga disebutkan tahapan-tahapan penerapan pajak karbon, yaitu tahap pengembangan mekanisme perdagangan karbon, tahap penerapan mekanisme pajak berdasarkan batas emisi untuk sektor pembangkit listrik terbatas dan PLTU, dan tahap implementasi perdagangan karbon secara menyeluruh dan perluasan sektor penerapan pajak karbon.[4]

Pasal 13 UU HPP menyebutkan bahwa pajak karbon akan dikenakan bagi setiap emisi karbon yang dihasilkan dari kegiatan konsumsi maupun produksi.[5] Lebih lanjut, Pasal 13 ayat (5) UU HPP menyatakan bahwa pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan karbon dalam jumlah tertentu dalam jangka waktu tertentu.[6] Tarif pajak karbon yang rencananya akan diterapkan lebih tinggi atau sama dengan harga pasar karbon per kilogram karbon dioksida ekuivalen. Apabila harga karbon lebih rendah daripada Rp30.000,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen, maka tarif pajak karbon yang dikenakan adalah paling rendah sebesar Rp30.000,00 per kilogram karbon dioksida ekuivalen atau satuan yang setara.[7] Pelaksanaan pajak karbon akan dilakukan secara bertahap sesuai peta jalan (roadmap) dengan memerhatikan perkembangan pasar karbon, capaian target NDC, kesiapan sektor, dan kondisi ekonomi.

Pajak karbon bersifat wajib bagi penjual dengan pembebanan dilakukan kepada konsumen. Subjek pajak karbon lebih ditekankan kepada konsumen, yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dioksida atau menghasilkan emisi karbon. Pajak karbon dibayarkan oleh pembeli kepada penjual untuk kemudian disetorkan oleh penjual kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Objek pajak karbon potensial di Indonesia adalah bahan bakar fosil dan emisi karbon yang dihasilkannya. Bahan bakar yang dikenakan pajak karbon merupakan bahan bakar yang memiliki kandungan karbon yang tinggi, seperti batu bara, solar, dan bensin. Sedangkan dalam kegiatan ekonomi, pengenaan pajak karbon dilakukan kepada sektor padat karbon seperti industri semen, industri pulp and paper, pembangkit listrik, dan petrokimia.[8] Pajak karbon diberlakukan dengan skema cap and tax, yaitu penggabungan antara sistem perdagangan (cap and trade) dan sistem pemajakan atas emisi karbon (carbon tax).[9]

Penerapan pajak karbon sebagai upaya menekan emisi karbon bukan merupakan hal yang baru. Beberapa negara-negara di dunia sudah terlebih dahulu menerapkan kebijakan pajak karbon. Finlandia menjadi negara pertama yang menerapkan pajak karbon pada tahun 1990 dan menjadi pionir bagi negara-negara lain.[10] Penelitian yang dilakukan oleh Elbaum terkait pengaruh pajak karbon terhadap emisi karbon dioksida dari sektor transportasi di Finlandia sejak tahun 1990 sampai tahun 2005 menunjukkan bahwa tingkat emisi karbon dari sektor transportasi di Finlandia berhasil ditekan hingga 10% dalam jangka waktu satu tahun setelah pajak karbon diterapkan, dan turun hingga 20% setelah lima tahun penerapan pajak karbon. Hingga tahun 2005, diketahui bahwa penurunan emisi karbon yang dihasilkan di Finlandia mencapai 48%.[11] Angka yang cukup signifikan ini menunjukkan bahwa penerapan pajak karbon merupakan kebijakan yang cukup berpengaruh dalam penurunan emisi karbon di Finlandia, khususnya yang berasal dari sektor transportasi. Hasil serupa juga ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Mingxi (2011) di China. Mingxi menyebutkan bahwa penerapan pajak karbon di China dalam jangka pendek dapat menurunkan emisi sebesar 6,8% hingga 12,4% dengan tarif pajak sebesar US$5 dan US$10. Sedangkan dalam jangka panjang, emisi yang dapat ditekan adalah sebesar 2,3% hingga 4,5% dengan tarif pajak sebesar US$5 dan US$10.[12]

Meskipun begitu, tidak semua negara berhasil dalam menerapkan pajak karbon. Penelitian yang dilakukan oleh Lin & Li pada tahun 2011 menunjukkan bahwa penerapan pajak karbon di Norwegia tidak memberikan pengaruh sama sekali terhadap penurunan emisi karbon yang dihasilkan, bahkan terdapat peningkatan jumlah emisi karbon setelah pemberlakuan pajak karbon. Perbedaan hasil dari penerapan pajak karbon di negara-negara dunia dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah perbedaan tarif, perbedaan sektor yang dikenakan pajak karbon, serta perbedaan kebijakan penggunaan penerimaan (earmarking) pajak karbon dari pemerintah masing-masing negara.[13]

Mengapa indonesia harus menerapkan pajak karbon

            Penerapan pajak karbon di Indonesia bukanlah hal yang mudah. Kebanyakan masyarakat Indonesia melihat emisi karbon sebagai sesuatu yang tidak bernilai, sehingga sulit untuk mengenalkan pajak karbon kepada masyarakat Indonesia. Padahal sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan perekonomian terbesar di dunia, Indonesia menghasilkan banyak emisi karbon, dan pajak karbon diperlukan sebagai instrumen untuk memitigasi peningkatan emisi karbon tersebut.[14] Selain itu, Indonesia juga merupakan salah satu negara yang meratifikasi Perjanjian Paris (Paris Agreement), dimana salah satu hal yang menjadi kewajiban Indonesia adalah mengurai dan mengkomunikasikan aksi ketahanan iklim pasca tahun 2020 dalam dokumen kontribusi yang ditetapkan secara nasional (NDC). Dalam dokumen NDC tersebut, pemerintah Indonesia menargetkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% tanpa syarat (dengan upaya sendiri) dan sebesar 41% bersyarat (dengan bantuan internasional) pada tahun 2030.[15] Penerapan pajak karbon merupakan salah satu upaya Indonesia dalam memenuhi target tersebut.

Berdasarkan penjelasan diatas, kebutuhan terhadap pajak karbon sangat diperlukan di Indonesia. Hal ini didasari oleh berbagai kerugian yang telah dialami Indonesia karena emisi karbon. Fakta ini didukung oleh publikasi dari Kementerian Kehutanan & Lingkungan (2022) yang menyatakan bahwa selama 20 tahun indonesia telah kehilangan 17% dari total hutan yang dimilikinya atau sebesar 27.7 MHa.[16] Pada tahun 2021 saja, Indonesia diperkirakan telah kehilangan 203 kha yang setara dengan 157 ton emisi CO2.[17] Fakta ini menggambarkan keadaan polusi karbon yang makin tidak terkendali, Badan Riset & Inovasi Nasional (BRIN) melakukan penelitian yang menunjukan bahwa masalah ini menewaskan 120.000 orang Indonesia setiap tahunnya. Maka dari itu, pajak karbon diperlukan untuk memberikan insentif bagi perusahaan maupun individu untuk mendekati keadaan karbon netral. Selain bermanfaat sebagai pemberian insentif bagi perusahaan untuk mendukung lingkungan yang lebih bersih, menurut pernerbitan BRIN penerapan pajak karbon akan berdampak besar pada perekonomian Indonesia sebagai akibat dari pandemi Covid-19 dengan perkiraan pemasukan Rp 139 triliun ($9,8 miliar) yang bermanfaat untuk meningkatkan pendapatan pajak negara dari 8,44% menjadi 9,22% dari GDP[18]. Hal ini sangat bermanfaat untuk menutupi subsidi pemerintah terhadap bahan bakar dan energi fosil. Berdasarkan laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang mengutip Peraturan Presiden No 98 tahun 2022, subsidi tahunan dari pemerintah untuk sektor ini meningkat, dari yang semula hanya Rp 152.5 Triliun menjadi Rp. 502.5 Triliun.[19] Sektor ini memakan subsidi terbesar dibandingkan bila dengan sektor kesehatan yang hanya memiliki subsidi setengah dari total subsidi bahan bakar fosil, sebesar Rp. 255.3 Triliun untuk seluruh aspeknya. Maka dari itu, pemerintah harus mengambil langkah tegas untuk menerapkan sistem perpajakan karbon agar Indonesia dapat meraih keadaan karbon neutral.[20]

Pajak Karbon adalah solusi paling tepat untuk mengatasi dampak negatif pemanasan global yang disebabkan oleh polusi udara yang berasal dari penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor. Penetapan pajak karbon akan membawa kontribusi besar untuk mengurangi tingkat penggunaan emisi karbon di Indonesia karena dibebankan kepada konsumen, yaitu individu yang menggunakan bahan bakar emisi karbon. Dengan dibebankannya pajak kebada konsumen dengan adanya peningkatan harga bahan bakar akibat adanya beban pajak, menghasilkan kecenderungan untuk beralih ke energi alternatif yang lebih ramah lingkungan. Implementasi pajak karbon akan membantu menciptakan kebijakan energi yang lebih berkelanjutan dan memberikan kontribusi positif dalam upaya mengurangi dampak negatif perubahan iklim dan pemanasan global di Indonesia. Namun, implementasi dari pajak karbon ini belum maksimal karena masyarakat masih menganggap remeh akibat dari peningkatan emisi karbom. Maka dari itu, diperlukan upaya lebih lanjut untuk mensosialisasikan permasalahan ini kepada masyarakat untuk memaksimalkan penerapan tarif pajak karbon.


Sumber:

[1] Selvi, Notika Rahmi, Idar Rachmatulloh, Urgensi Penerapan Pajak Karbon Di Indonesia 7 (March 2020).

[2] “Tekan Emisi Karbon, Indonesia Naikkan Target E-NDC Jadi 32 Persen,” migas.esdm.go.id, accessed May 24, 2023, https://migas.esdm.go.id/post/read/tekan-emisi-karbon-indonesia-naikkan-target-e-ndc-jadi-32-persen.

[3] Anisa Indraini, “Ditunda Beberapa Kali, Pajak Karbon Mulai Berlaku Mulai 2025,” detikfinance, accessed May 24 , 2023,

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6345549/ditunda-beberapa-kali-pajak-karbon-mulai-berlaku-mulai-2025#:~:text=Berdasarkan%20Undang%2DUndang%20Nomor%207,harusnya%20berlaku%201%20April%202022.

[4] Penjelasan Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan.

[5] Pasal 13 Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan.

[6] Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

[7] Pratama, Bintang Adi; Ramadhani, Muhammad Agra; Lubis, Putri Meiarta; Firmansyah, Amri, Implementasi Pajak Karbon di Indonesia: Potensi Penerimaan Negara dan Penurunan Jumlah Emisi Karbon, Jurnal Pajak Indonesia Vol. 6 No. 2, hlm. 368-374.

[8] Margono; Sudarmanto, Kukuh; Sulistiyani, Diah; Sihotang, Amri Panahatan, Keabsahan Pengenaan Pajak Karbon dalam Peraturan Perpajakan, Magister Hukum Universitas Semarang.

[9] Kristanti, Kalyana Mitta; Saptono, Prianto Budi, Pajak Karbon dalam Langkah Pelestarian Lingkungan, Jurnal Politeknik Caltex Riau Vol 15, No. 2, November 2022, hlm. 538-547.

[10] Barus, Eykel Bryken; Wijaya, Suparna, Penerapan Pajak Karbon di Swedia dan Finlandia Serta Perbandingannya dengan Indonesia, Jurnal Pajak Indonesia Vol. 5 No. 2, 2021, hlm. 256-279.

[11] Ibid

[12] Ibid

[13] Ibid

[14] Putri, Cantika Adinda, “Pajak Karbon di RI ‘Ngaret’, Sri Mulyani: Ini Rumit!”, CNBC Indonesia.

[15] komitmeniklim.id, “Pajak Karbon dan Mengapa Penting Menerapkannya?”, komitmeniklim.id.

[16]   Ministry of Environment and Forestry, Republic of Indonesia, THE STATE OF INDONESIA’S FORESTS 2022 Towards FOLU Net Sink 2030 (Jakarta: Ministry of Environment and Forestry, Republic of Indonesia, 2022).

[17]  1. Vizzuality, “Indonesia Deforestation Rates & Statistics | GFW,” Forest Monitoring, Land Use & Deforestation Trends | Global Forest Watch, accessed March 21, 2023, https://www.globalforestwatch.org/dashboards/country/IDN/?category=summary&location=WyJjb3VudHJ5IiwiSUROIl0%3D&map=eyJjZW50ZXIiOnsibGF0IjotMi41Nzg0NTMwNjA1NjAzMTMsImxuZyI6MTE4LjAxNTE1NTc5MDAwNjgyfSwiem9vbSI6Mi4yNDQxNDk3Mjk2Mzk1NTIsImNhbkJvdW5kIjpmYWxzZSwiZGF0YXNldHMiOlt7ImRhdGFzZXQiOiJwb2xpdGljYWwtYm91bmRhcmllcyIsImxheWVycyI6WyJkaXNwdXRlZC1wb2xpdGljYWwtYm91bmRhcmllcyIsInBvbGl0aWNhbC1ib3VuZGFyaWVzIl0sImJvdW5kYXJ5Ijp0cnVlLCJvcGFjaXR5IjoxLCJ2aXNpYmlsaXR5Ijp0cnVlfSx7ImRhdGFzZXQiOiJOZXQtQ2hhbmdlLVNUQUdJTkciLCJsYXllcnMiOlsiZm9yZXN0LW5ldC1jaGFuZ2UiXSwib3BhY2l0eSI6MSwidmlzaWJpbGl0eSI6dHJ1ZSwicGFyYW1zIjp7InZpc2liaWxpdHkiOnRydWUsImFkbV9sZXZlbCI6ImFkbTAifX1dfQ%3D%3D&showMap=true.

[18] Alvin Adityo, “Indonesia’s Grand Experiment in Implementing a Fair and Acceptable Carbon Tax,” Indonesia Post-Pandemic Outlook: Social Perspectives, 2022, xx, doi:10.55981/brin.536.c460.

[19] Office of Assistant to Deputy Cabinet Secretary for State Documents & Translation, “Minister: Energy Subsidy Budget to Keep Soaring,” Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, last modified September 5, 2022, https://setkab.go.id/en/minister-energy-subsidy-budget-to-keep-soaring/.

[20]  Office of Assistant to Deputy Cabinet Secretary for State Documents & Translation, “Finance Minister Reveals 2022 State Budget Bill Focus for Health Sector,” Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, last modified August 26, 2021, https://setkab.go.id/en/finance-minister-reveals-2022-state-budget-bill-focus-for-health-sector/.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *