Hak Cipta dalam Industri Musik Kontemporer: Bagaimanakah Praktiknya?

Oleh: Adinda Atmim Lana Nurona, Bagus Nur Alfandy, Kania Azzahra Jasmine, Muhammad Tristan Bias Rembulan

(Divisi Hak dan Kekayaan Intelektual)

Dewasa ini, dunia hiburan berkembang dengan cepat dan masif seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi yang melatarbelakanginya. Tidak diragukan lagi, hal ini menimbulkan banyak masalah baru, khususnya berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual dalam industri musik. Isu ini menyasar salah satunya kepada eksistensi dan perlindungan lagu kontemporer yang memiliki prospek bisnis menguntungkan.[1] Lagu atau musik dalam Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) adalah salah satu ciptaan yang dilindungi, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) huruf d UUHC. Lagu atau musik ini diartikan sebagai karya yang bersifat utuh, sekalipun terdiri atas unsur lagu atau melodi, syair atau lirik, dan aransemennya termasuk notasi.

Adapun, UUHC belum memberikan pengertian jelas terkait plagiarisme.[2] Namun, apabila merujuk pada KBBI, plagiarisme merupakan penjiplakan yang melanggar Hak Cipta. Menurut Pasal 1 angka 1 UUHC, Hak Cipta itu sendiri adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal demikian, seseorang perlu mendapat izin pencipta atau pemegang Hak Cipta sebelum memutuskan untuk menggunakan karya pihak tersebut. Kemudian, apa yang dimaksud dengam pelanggaran Hak Cipta? Dalam UUHC telah disebutkan hal-hal yang tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta di dalam Pasal 15 UUHC. Pasal ini menyatakan bahwa dengan terpenuhinya syarat penyebutan dan pencantuman sumber, tidak dianggap sebagai pelanggaran Hak Cipta.[3]

Pada perspektif nasional, pengaturan terkait dengan perlindungan terhadap Hak Kekayaan Intelektual berupa Hak Cipta yang terkandung di dalam lagu kontemporer diatur pada Pasal 12 ayat (1) huruf d UUHC. Lebih lanjut, sebuah lagu dipandang sebagai suatu kesatuan karya cipta yang terdiri atas melodi, syair, atau lirik.[4] Apabila sebuah lagu digunakan, diperbanyak, atau disalin secara substansial tanpa menyebutkan pemilik Hak Cipta atas lagu tersebut maka hal tersebut dapat terkategorisasi sebagai suatu tindakan plagiarisme.[5] Lebih lanjut, pelanggar atau pelaku plagiarisme dari sebuah lagu dapat dijatuhi sanksi pidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Adapun mekanisme penyelesaian sengketa terhadap jenis pelanggaran berupa plagiarisme lagu dapat ditempuh melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase, atau pengadilan niaga. Apabila terdapat pelanggaran, pemegang Hak Cipta atas sebuah lagu berhak untuk mengajukan gugatan ganti kerugian yang ditujukan kepada pengadilan niaga atas pelanggaran Hak Cipta miliknya dan berhak meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil duplikasi dari hasil ciptaan miliknya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 56 ayat (1) UUHC.

Pada perspektif internasional, pengaturan terkait perlindungan terhadap Hak Cipta lagu diatur dalam beberapa konvensi internasional yang mengatur tentang Performing Rights,  meliputi:

  1. Bern Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (1886)

Berdasarkan konvensi a quo, terdapat uraian mengenai perlindungan karya (termasuk lagu) melalui penetapan hak moral yang bermanfaat bagi pemilik Hak Cipta untuk menolak setiap hasil modifikasi yang berpotensi untuk merugikan dan merendahkan reputasi pencipta.[6]

  • The Rome Convention for the Protection of Performers, Producers of Phonograms, and Broadcasting Organization (1961)

Berdasarkan konvensi a quo, terdapat bentuk proteksi dalam ruang lingkup internasional bagi aktor pelaku seni (performing arts) yang dapat terkategorisasi sebagai penyanyi untuk mendapatkan perlindungan atas Hak Cipta yang dimiliki olehnya.[7]

  • World Intellectual Property Organization Copyright Treaty

Konvensi a quo mengatur mengenai perhitungan dalam hal penetapan dalam penentuan hak eksklusif pencipta (author’s right) dalam suatu Hak Cipta yang meliputi lagu.[8]

  • WIPO Performances and Phonograms Treaty (WPT)

Konvensi a quo mengatur tentang Hak Cipta dari aktor pelaku seni (performing arts) yang terdiri atas tiga hak tambahan, meliputi: (1) hak mengontrol perwujudan pertunjukannya yang diperbanyak, diumumkan, disewakan, dan meliputi pengontrolan terhadap pemasaran karya intelektual miliknya; (2) negara peserta (state party) dalam WPT harus menjamin aktor pelaku seni menerima bayaran; dan (3) terdapat perlindungan terhadap hak-hak moral yang berupa identitas dan integritas pertujukan hidup para pelaku seni yang dialihkan dalam bentuk rekaman suara.[9]

Dengan demikian, dari segi internasional dapat dipahami bahwa Hak Cipta dalam suatu lagu telah dilindungi oleh berbagai konvensi internasional dan mengikat bagi negara-negara peserta yang meratifikasi konvensi tersebut.

Siapa yang tidak mengenal musisi kenamaan dunia, Ed Sheeran. Dia telah mencetak banyak hits yang terkenal di seluruh penjuru dunia. Salah lagu lagu hits yang pernah Ed Sheeran rilis adalah Thinking Out Loud yang dipopulerkan di tahun 2014. Lagu ini sukses meraih puncak No.1 di Inggris dan No.2 di Amerika Serikat, serta memenangkan song of the year di Grammy 2016.[10] Namun, tak lama setelahnya lagu ini telah dituntut atas dugaan plagiasi yang dilakukan oleh pencipta sekaligus penyanyinya yaitu Ed Sheeran. Lagu ini dianggap memiliki kemiripan dengan lagu Let’s Get It On yang dipopulerkan oleh Marvin Gaye. Para penggugat yang merupakan ahli waris dari penulis Lets Get It On mengganggap bahwa plagiasi dilakukan atas melodi, irama, permainan drum dan bass dan paduan suara dalam Thinking Out Loud yang mirip dengan Let’s Get It On.

Penggugat menampilkan sebuah video yang beredar di media sosial penampilan live Thinking Out Loud ketika digabungkan dengan Let’s Get It On memiliki kecocokan. Namun, hal itu dibantah dengan Ed Sheeran karena dia menganggap bahwa para musisi sering melakukan medley karena kebanyakan lagu pop dapat memiliki kecocokan jika digabungkan dengan lagu pop lain. Adapun, medley merupakan suatu komposisi musik yang terdiri dari beberapa potongan atau bagian musik lain.[11] Kemudian, penggugat menampilkan sebuah video yang beredar di media sosial penampilan live Thinking Out Loud dan ketika digabungkan dengan Let’s Get It On, keduanya memiliki kecocokan. Namun, hal tersebut dibantah oleh Ed Sheeran karena ia menganggap bahwa para musisi sering melakukan medley sebab kebanyakan lagu pop dapat memiliki kecocokan jika digabungkan dengan lagu pop lain. 

Poin utama dalam sengketa ini adalah terkait progresi akor dari lagu Let’s Get It On yang memiliki kemiripan dengan Thinking Out Loud. Dalam hal ini pihak Ed Sheeran menganggap bahwa progresi akor adalah suatu bentuk yang dapat digunakan oleh musisi manapun terlebih ada beberapa hits sebelum Let’s Get It On yang menggunakan progresi akor serupa tetapi penggugat menganggap bahwa progresi akor ini memiliki keunikan yang patut dilindungi dengan Hak Cipta.[12] Ed Sheeran terus berjuang untuk membebaskan dirinya atas tuduhan plagiasi tersebut. Persidangan yang berlangsung selama dua minggu di Pengadilan Federal Manhattan Amerika Serikat telah memberikan putusan bahwa para juri menganggap Thinking Out Loud dibuat Ed Sheeran tanpa menjiplak lagu Let’s Get It On.[13] Ed Sheeran dinyatakan menang dan tidak perlu menepati sumpahnya untuk pensiun dari dunia musik jika terbukti melakukan plagiasi. 

Meskipun dalam kasus tersebut Ed Sheeran tidak terbukti menjiplak lagu Let’s Get It On milik Marvin Gaye, perlindungan Hak Cipta terhadap musik tetap harus ditegakkan baik dalam skala nasional maupun internasional. Dalam skala nasional haruslah mengacu pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta (UUHC). Apabila dalam skala internasional maka mengacu pada keempat konvensi yang telah diuraikan sebelumnya. Banyak cara yang dapat dilakukan agar para musisi tidak terkena masalah Hak Cipta terutama plagiasi ketika menciptakan karya, contohnya seperti melakukan riset yang mendalam mengenai karya yang menjadi inspirasi atau karya yang memiliki kemungkinan kemiripan, serta menggunakan teknik amati, tiru, dan modifikasi. Terdapat permasalahan mengenai patokan sebuah karya seni musik atau lagu memang tidak diatur secara jelas dalam UUHC, tetapi para ahli sepakat bahwa ketika terdapat persamaan lebih dari 8 bar maka dapat dikatakan sebagai plagiarisme. Dalam hal ini penulis menyarankan agar terdapat ketentuan yang jelas mengenai batas suatu karya musik dapat dikatakan plagiarisme yang mungkin dapat dimulai dari lingkup nasional terlebih dahulu yaitu dalam UUHC. Selain itu, diperlukan sosialisasi mengenai pengaturan mengenai Hak Cipta ini tidak hanya kepada musisi saja, tetapi kepada masyarakat umum secara luas yang kebanyakan menjadi penikmat karya para musisi. Harapannya agar isu plagiarisme ini tidak terjadi lagi baik di lingkup nasional maupun internasional dan para musisi dapat berkarya lebih kreatif untuk menghasilkan karya terbaik mereka.


Sumber:

[1] Bambang Kesuo, “Pengantar Umum Mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) Di Indonesia,” Rineka Cipta, Jakarta, 1987, hlm: 76.

[2] UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

[3] Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. “Penerapan Hukum Dalam Plagiarisme Musik – Klinik Hukumonline.” hukumonline.com. https://www.hukumonline.com/klinik/a/penerapan-hukum-dalam-plagiarisme-musik-lt533af41a41909/. (diakses pada 30 Mei 2023).

[4] Ibid

[5] Pasal 12 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2014.

[6] WIPO, “Summary of the Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (1886).” Summary of the Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (1886) (wipo.int) (diakses pada 1 Juni, 2023)

[7] Niken Prasetyawati, “Perlindungan Hak Cipta dalam Transaksi Dagang Internasional”, Jurnal Sosial Humaniora IV, no.1 (Juni 2011): 77

[8] Rahmi Jened, Hukum Hak Cipta (Copyright’s Law) (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2014),68

[9] Airlangga Surya Nagara, “Hak Cipta di Indonesia (Studi Mengenai Hak Politik Hukum Hak Cipta di Indonesia)” (Tesis Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro,  2013), 60.

[10] Cerena Liptak, “GRAMMY Rewind: Ed Sheeran’s 2016 Song Of The Year Win Was Extra Special Thanks To A GRAMMY Legend”, https://www.grammy.com/news/ed-sheeran-thinking-out-loud-grammy-win-song-of-the-year-2016-acceptance-speech-video-stevie-wonder-rewind (diakses pada 21 Juli 2023).

[11] Samuel Chase, “What Is A Medley In Music”, https://hellomusictheory.com/learn/medley/ (diakses pada 21 Juli 2023).

[12] Ben Sisario, “Ed Sheeran Won His Copyright’s Trial. Here’s What to Know”, https://www.nytimes.com/article/ed-sheeran-marvin-gaye-copyright-trial.html (diakses pada 2 Juni 2023).

[13] Rindi Salsabilla, “Ed Sheeran Dinyatakan Tak Bersalah dalam Kasus Jiplak Lagu”, https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20230505112422-33-434715/ed-sheeran-dinyatakan-tak-bersalah-dalam-kasus-jiplak-lagu (diakses pada 21 Juli 2023).

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *