Thrifting dalam Perspektif Hukum Indonesia dan Hukum Internasional

Oleh Dimas Satrya Gerhana Mahardika dan Yasmin Kirani Faradila

(Divisi Perdagangan Internasional)

Latar belakang

Berbicara mengenai thrifting maka sudah tidak asing lagi, thrifting mendapat minat tinggi oleh masyarakat Indonesia, terutama pada tahun 2019 menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pelaku usaha di Indonesia melakukan  impor barang thrifting, tercatat nilai impor sebesar 417,73 ton yang kebanyakan berasal dari beberapa negara seperti, Jepang, Malaysia, Australia, Singapura, dan Hong Kong. Pada tahun 2022, masih menjadi suatu tren di kalangan masyarakat Indonesia, walaupun tidak setinggi pada tahun 2019, tetapi impor barang thrifting mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 230,40%.[1] Peminat thrifting yang selalu meningkat disebabkan oleh banyaknya masyarakat yang lebih memilih untuk membeli pakaian yang murah, tetapi dengan kualitas bagus hingga bermerek.

Namun, tidak sedikit para pelaku usaha yang kerap mengambil keuntungan secara ilegal dalam hal perdagangan thrifting. Seperti halnya di Provinsi Kepulauan Riau, terutama di Kota Batam, masih banyak terjadi penyelundupan pakaian bekas, hal tersebut diperkuat dengan lokasi Provinsi Riau yang strategis dengan adanya pelabuhan internasional sehingga memudahkan dalam melakukan perdagangan dengan negara lain.[2]

Pada April 2023, Direktorat Jenderal Bea Cukai melakukan pemusnahan pakaian bekas di Batam, Kepulauan Riau dengan metode dibakar dan dimusnahkan menggunakan mesin. Temuan pakaian bekas dari kegiatan operasi Ditjen Bea Cukai tersebut mencapai 122,06 ton atau setara dengan 17,4 miliar rupiah. Pemusnahan dilakukan atas dasar pelanggaran Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 51/M-DAG/PER/7/2015 tentang Larangan Impor Pakaian Bekas dan Permendag nomor 40 Tahun 2022 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Menurut Dirjen Bea cukai, hal tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan wujud awal dan sifat hakiki suatu barang berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 178/PMK.04/2019.[3]

Lantas, turut menjadi perhatian peraturan terkait thrifting baik dalam perspektif hukum nasional Indonesia maupun internasional, serta bagaimana implementasi atas peraturan tersebut dalam penyelenggaraan negara sebagaimana yang diketahui bahwa thrifting masih berkembang di masyarakat hingga saat ini.

Pembahasan

Dalam pengaturan di lingkup nasional, thrifting merupakan salah satu bentuk usaha yang dilarang, hal tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor (Permendag 18/2021) Pasal 2 ayat (3) huruf d menyatakan bahwa “Barang Dilarang Impor berupa kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas”, lebih lanjut diatur dalam Lampiran II Permendag 18/2021 tersebut bahwa yang dilarang merupakan pakaian bekas dan barang bekas lainnya dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Pasal 46 angka 15 yang mengamandemen Pasal 46 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang menyatakan bahwa Importir harus melakukan kegiatan impor hanya kepada barang baru. Namun, jika melihat ketentuan Pasal 4 ayat (2) bahwa barang yang termasuk “Barang Dilarang Impor” dapat dilakukan impor kembali.

Lebih lanjut, pengaturan dalam Permendag 18/2021 tersebut mengatur tentang ketentuan pelarangan impor pakaian dan/atau barang bekas hanya dari luar negeri. Artinya, thrifting dari produk dalam negeri diperbolehkan. Hal ini menunjukan bahwa aktivitas thrifting tidak sepenuhnya dilarang, tetapi sebatas pada barang secondhand dari Indonesia. Kemudian, pemusnahan dari barang-barang impor berupa pakaian bekas di berbagai wilayah Indonesia tersebut merupakan bentuk penindakan dan penegakan aturan Permendag tersebut. Hal tersebut ditekankan pada dua keadaan, yaitu bahwa impor barang bekas (pakaian bekas) dari luar negeri melanggar peraturan perundang-undangan dan kondisi tersebut dapat menimbulkan dampak terhadap ekosistem persaingan usaha perdagangan tekstil di dalam negeri.

Kemudian dalam hukum internasional, perkembangan terkait isu sosial menjadi salah satu pengaruh pengaturan dalam ranah internasional, salah satunya dengan perkembang tren fast fashion dimana pelaku usaha akan memproduksi pakaian dengan cara yang lebih cepat, murah, dan dalam jumlah yang banyak.[4] Hal tersebut membuat fashion atau lebih tepatnya industri tekstil berada di posisi kedua penghasil polusi menurut PBB. Fast fashion akan menghasilkan produksi dan konsumsi secara berlebihan yang akan berdampak buruk pada lingkungan sebab ketika pakaian tersebut sudah tidak lagi menjadi suatu trend atau tidak diminati akan berakhir menjadi sampah yang sulit untuk didaur ulang dan menghasilkan gas metana.[5]

Salah satu bentuk penangannya adalah dengan fokus pada laporan yang dipublikasi oleh PBB terkait konsep sustainable atau berkelanjutan. Menurut Fletcher, salah satu pendekatan yang tepat adalah dengan memperpanjang siklus kehidupan produk, yaitu dengan penggunaan kembali (reuse). Dengan begitu, apabila dikaitkan dengan lingkungan, thrifting merupakan salah satu bentuk yang mencerminkan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan sebab dapat mengurangi limbah pakaian.

Walaupun demikian, terdapat beberapa negara yang kontra terkait kegiatan thrifting layaknya Indonesia, yaitu Filipina. Diketahui bahwa di Filipina mempunyai peraturan khusus mengenai pelarangan impor yang diberlakukan pada Juni 1966.[6] Adanya peraturan tersebut merupakan atas dasar kesehatan, sebagaimana yang diketahui, pakaian bekas tentu saja membawa berbagai macam bakteri yang dapat berisiko membawa penyakit, terutama pada kulit. Pada tahun 2015, Kementerian Perdagangan Indonesia melakukan uji laboratorium terhadap beberapa pakaian bekas dan ditemukan beberapa mikroorganisme yang dapat bertahan hidup dalam waktu yang lama.

Dalam kondisi diantara hukum nasional dan hukum internasional, maka sebetulnya pelarangan aktivitas thrifting tersebut telah berlain arah dengan ketentuan GATT terkait dengan non-diskriminasi dalam national treatment Art. XIII Non-discriminatory Administration of Quantitative Restrictions karena membedakan ketentuan diperbolehkannya thrift barang dalam negeri dan melarang thrift barang dari luar negeri. Kemudian, thrifting tidak jauh berbeda dengan penjualan barang bekas atau yang lebih tren dengan “preloved” yang sama-sama menjual barang secara secondhand dan sudah lama berkembang pesat di masyarakat, tetapi yang menjadi perhatian pemerintah kini lebih berat kepada thrifting yang semakin masif berkembang di berbagai daerah terutama di periode konsumsi masyarakat tinggi seperti saat menjelang lebaran.

Pengaturan yang saat ini ada dalam peraturan perundang-undangan masih belum memberikan persepsi yang layak dan mudah dimengerti dan ditaati oleh masyarakat, hal tersebut dengan masih tetap banyaknya tempat-tempat thrifting yang terkenal hingga dicap sebagai sentra thrifting di berbagai daerah seperti Pasal Cimol Bandung, XT Square Yogyakarta, dan beberapa tempat lain. Pelarangan yang sebagaimana telah bertentangan dengan GATT tentunya perlu diperlukan regenerasi pengaturan karena dalam beberapa hal, thrifting merupakan kegiatan positif terutama dalam aspek perlindungan terhadap lingkungan, hal tersebut karena manufaktur tekstil menyubstitusi hampir 10% limbah dunia yang berpengaruh dalam pemanasan global.[7] Dengan kondisi tren fast fashion yang semakin pesat dapat meningkatkan produksi industri tekstil yang turut berimplikasi kepada meningkatnya sampah tekstil yang sulit untuk didaur ulang.

Kemudian, pengaturan yang secara khusus mengatur tentang thrifting tentunya akan sesuai dengan momentum pasar yang mana sedang tumbuh pesat pasar thrifting. Lebih lanjut, diperlukan pengakomodasian ketentuan impor individu dari luar negeri karena di era teknologi dan internet yang semakin maju, penjualan barang bekas tidak hanya bertumpu kepada offline market tetapi juga online market dengan masih terbukanya akses terhadap laman-laman internasional yang menjadi jembatan antara penjual dan calon pembeli dalam perdagangan barang secondhand lintas negara. Beberapa laman seperti joinflyp.com hingga verstiarecollective.com memberikan layanan penjualan barang secondhand yang melayani pengiriman internasional. Dari hal tersebut, tentunya rasio logis pengaturan hukum nasional terkait dengan penjualan thrifting sangat perlu diubah agar selalu mengakomodasi kemajuan zaman.

Thrifting merupakan salah bentuk usaha yang semakin marak berkembang di berbagai wilayah Indonesia. Tren ini berkembang dalam rangka memenuhi kebutuhan sandang pakaian dalam jangkauan murah tetapi dengan kualitas barang yang jauh lebih baik. Dalam perspektif hukum nasional, thrifting merupakan salah satu bentuk yang dilarang. Meskipun tidak memiliki pengaturan secara spesifik, tetapi inti kegiatan ini dilarang dalam  Permendag 18/2021 yang melarang melakukan impor terhadap pakaian bekas. Larangan tersebut berlaku untuk impor pakaian bekas dari luar negeri dan tidak berlaku untuk perdagangan pakaian bekas dengan barang berasal dari dalam negeri. Dalam perspektif hukum internasional,  isu sosial terutama terkait dengan paradigma fastfashion turut menjadi pendukung pengaturan terkait thrifting karena tren tersebut menciptakan supply pakaian yang berlebih. Implementasi pengaturan di Indonesia masih sangat rendah dengan masih banyaknya sentra thrifting di berbagai daerah. Kemudian, reformasi pengaturan turut menjadi perhatian penting untuk memberikan pengaturan yang mengakomodasi perkembangan zaman.  


Sumber:

[1] Sarnita Sadya. “Impor Pakaian Bekas Indonesia Mencapai 26,22 Ton pada 2022”. Dataindonesia.id. https://dataindonesia.id/Sektor Riil/detail/impor-pakaian-bekas-indonesia-mencapai-2622-ton-pada-2022

[2] Fahrizal Isra Rivai, “Hambatan Dalam Penanganan Perdagangan Illegal Pakaian Bekas Di Indonesia (2015-2019)” (Skripsi., Universitas Bosowa, 2022), 3

[3] Rifki Setiawan Lubis. “Bea Cukai Bakar Pakaian Bekas Senilai Rp17,4 Miliar di Batam “. sumatra.bisnis.com. https://sumatra.bisnis.com/read/20230403/534/1643295/bea-cukai-bakar-pakaian-bekas-senilai-rp174-miliar-di-batam

[4] Yudi Kornelis. “Fenomena Industri Fast Fashion: Kajian Hukum Perspektif Kekayaan Intelektual Indonesia”, e-Journal Komunikasi Yustisia Universitas Pendidikan Ganesha, Vol. 5, No. 1 (Maret 2022): 264

[5] Jihan Pramodhawardhani Mahadinastya Endrayana dan Dian Retnasari. “Penerapan Sustainable Fashion Dan Ethical Fashion Dalam Menghadapi Dampak Negatif Fast Fashion”, Prosiding PTBB FT UNY, Vol. 16, No. 1 (2021)

[6] Gabriel Pabico Lalu, “‘Ukay-ukay’ market potential spurs move to repeal law banning its import”. https://www.inquirer.net/. https://newsinfo.inquirer.net/1648216/ukay-ukay-market-potential-spurs-move-to-repeal-law-banning-its-import

[7] Rachael Dottle dan Jackie Gu. “The Global Glut of Clothing Is an Environment Crisis”, Bloomberg, 23 Februari 2022, https://www.bloomberg.com/graphics/2022-fashion-industry-environmental-impact/ (diakses pada 9 Mei 2023)

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *