Piercing the Corporate Veil: Penyingkap Batas Pertanggungjawaban Parent Company terhadap Kepailitan Subsidiary Company

Oleh Lidya Margaretha, Sarah Dwi Kautsar, Darren Fubert (Divisi Perusahaan dan Anti-Monopoli)

PENDAHULUAN

Pengembangan lingkup usaha adalah hal yang biasa dilakukan oleh para pelaku usaha dalam ikhtiarnya untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya[1]. Dalam pengembangan usaha, perusahaan dapat menempuh beberapa cara pengembangan, seperti akuisisi (pengambilalihan), merger (penggabungan menjadi satu), dan konsolidasi (peleburan menjadi perusahaan baru). Oleh sebab itu, terdapat kemungkinan lahirnya konstruksi baru perusahaan, salah satunya dengan model kelompok perusahaan[2]. Kelompok yang terdiri dari perusahaan-perusahaan akrab kita kenal dengan Holding Company. Dalam berjalannya holding company, tidak dapat terlepas dari peristiwa hukum antara induk perusahaan (parent company) dan anak perusahaan (subsidiary company)[3]. Holding company pada umumnya memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan dengan mengoptimalkan kinerja subsidiary company[4]

Prinsip tanggung jawab yang terdapat dalam konstruksi holding company masih merujuk pada ketentuan tanggung jawab yang dimiliki oleh saham perseroan terbatas (PT), yakni limited liability. Landasan hukum prinsip a quo dapat kita lihat pada pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang menyatakan bahwa:

Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.”

Dengan demikian, terdapat pemisahan harta dan tanggung jawab antara pemilik saham dengan perseroan sebagaimana doktrin separate legal entity dan limited liability[5].

Akan tetapi, dalam implikasinya, prinsip limited liability belum dapat dikatakan memberi keadilan bagi semua pihak dalam perseroan karena masih banyak penyimpangan akan prinsip tersebut sehingga sifatnya tidak mutlak[6]. Ada kalanya pada kondisi tertentu prinsip limited liability dapat tidak berlaku atau dikecualikan, salah satunya adalah ketika anak perusahaan (subsidiary company) memiliki suatu masalah, diantaranya tidak terlaksananya fiduciary duty oleh direksi kepada perseroan, dokumen perhitungan tahunan tidak benar, dan pailitnya perusahaan[7]. Pada kondisi tersebut, prinsip piercing the corporate veil (PCV) dapat diterapkan. Prinsip PCV pada intinya merupakan pemindahan tanggung jawab dari perseroan kepada pemilik saham[8]. Dengan demikian, salah satu penyebab dapat dilakukannya PCV dalam konstruksi perusahaan kelompok adalah saat pailitnya subsidiary company. Terdapat pertanyaan yang akan menjadi pokok pembahasan, yakni “Bagaimana ketentuan pertanggungjawaban parent company dalam permasalahan kepailitan subsidiary company?” 

PEMBAHASAN

Hubungan Parent Company dengan Subsidiary Company 

Perusahaan kelompok (company groups), menurut Emmy Simanjuntak, merupakan perusahaan-perusahaan yang secara yuridis mandiri membentuk satu kesatuan ekonomi yang tunduk kepada suatu pimpinan dari suatu perusahaan induk sebagai pimpinan sentral[9]. Kelompok perusahaan dapat memiliki beberapa pemegang saham dalam berbagai sektor bisnis[10]. Konstruksi umum kelompok perusahaan terdiri dari induk perusahaan yang memiliki beberapa anak perusahaan (lini bisnis yang berbeda-beda)[11]

Pengertian induk perusahaan belum dapat kita jumpai dalam peraturan perundang-undangan secara eksplisit, tetapi dasar hukumnya dapat ditemukan tersirat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. Dalam Black’s Law Dictionary, induk perusahaan didefinisikan sebagai “a company formed to control other companies, usually confining its role to owning stock and supervising management.” Secara bebas, terjemahannya berbunyi “perusahaan induk adalah sebuah perusahaan yang dibentuk untuk mengendalikan perusahaan lain, biasanya membatasi perannya untuk memiliki saham dan mengawasi manajemen.[12] Di samping itu, Munir Fuady menyatakan yang dimaksud dengan perusahaan induk adalah suatu perusahaan yang bertujuan untuk memiliki saham dalam satu atau lebih perusahaan lain dan/atau mengatur satu atau lebih perusahaan lain tersebut. Perusahaan induk memiliki padanan istilah lain, yakni holding company, parent company, atau controlling company. Anak perusahaan pula memiliki istilah lain, yaitu subsidiary company

Mekanisme hubungan hukum antara parent company dan subsidiary company belum diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan. Namun, Undang Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT 1995”) sempat menyebut tentang anak perusahaan pada penjelasan pasal 29 UU tersebut. Disebutkan bahwa yang dimaksud dengan anak perusahaan adalah perseroan yang mempunyai hubungan khusus dengan perseroan lain, yang terjadi karena:[13] (a) lebih dari 50% (lima puluh persen) sahamnya dimiliki oleh induk perusahaannya; (b) lebih dari 50% (lima puluh persen) suara dalam RUPS dikuasai oleh induk perusahaannya; dan/atau (c) kontrol atas jalannya perseroan, pengangkatan, dan pemberhentian Direksi dan Komisaris sangat dipengaruhi oleh induk perusahaannya.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kelompok perusahaan dikonstruksikan oleh adanya keterkaitan yang terjadi di antara perusahaan induk dan perusahaan anak, dengan penguasaan saham yang didominasi oleh perusahaan induk.[14] 

Sejatinya, berdasarkan prinsip pemisahan separate legal entity dan pertanggungjawaban terbatas (limited liability) memiliki konsekuensi bahwa pertanggungjawaban holding company terpisah dari pertanggungjawaban subsidiary company-nya. Sedangkan dari sudut pandang ekonomi, konstruksi holding company dan subsidiary company merupakan suatu single economic entity (satu kesatuan ekonomi). Dengan adanya kesatuan ekonomi, hal ini yang melahirkan keterkaitan antara holding company dengan subsidiary company[15]. Keterkaitan dalam konstruksi perusahan grup ini tidak berdampak pada hapusnya status badan hukum mandiri yang dimiliki holding company dan subsidiary company[16]. Keduanya tetap memiliki indepdensi secara hukum dan mampu melakukan perbuatan hukum. Implikasinya, perbuatan subsidiary company tidak termasuk dalam lingkup pertanggungjawaban holding company sebagai pemilik saham mayoritas[17]. Pada saat tersebut, berlaku prinsip limited liability bagi holding company, yang hanya bertanggung jawab sebesar nilai saham yang dimiliki pada subsidiary company jika terjadi kerugian ataupun kepailitan pada subsidiary company[18].

Konsep Piercing the Corporate Veil 

Lifting the corporate veil atau yang lebih dikenal sebagai piercing the corporate veil (PCV) terdiri dari beberapa kata, yakni kata piercing yang artinya menusuk dan menembus, corporate yang artinya perusahaan, dan veil yang artinya tirai atau kain (batasan)[19]. Dalam ilmu perusahaan, piercing the corporate veil  merupakan suatu prinsip atau teori yang diartikan sebagai suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak orang lain, oleh suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh perusahaan pelaku, tanpa melihat kepada fakta bahwa perusahaan tersebut sebenarnya dilakukan oleh perusahaan pelaku tersebut.

Doktrin piercing the corporate veil merupakan istilah yang sering dijumpai dalam dunia perseroan ketika terjadi pemindahan tanggung jawab. Hal ini disebabkan karena piercing the corporate veil diberlakukan apabila terjadi konflik kepentingan dalam hubungan antara induk perusahaan (parent company) dan anak perusahaan (subsidiary company). Doktrin ini menuntut pemilik atau pemegang saham untuk bertanggung jawab atas utang dan kerugian ekonomi anak perusahaan yang dapat dipicu oleh beberapa keadaan. Pertama, penyalahgunaan perusahaan oleh organ perseroan yang menyebabkan kerugian. Sebagai contoh, direksi yang melakukan tindakan diluar batas kuasa yang menyebabkan kerugian (ultra vires) dapat dimintakan tanggung jawab secara pribadi[20]. Kedua, Permodalan yang rendah dari holding company. Fenomena ini dapat terjadi apabila induk perusahaan dianggap mengabaikan dan tidak mencukupi kebutuhan modal yang diperlukan anak perusahaan untuk mengoperasikan perusahaan[21].

Adakalanya perbuatan induk perusahaan dapat menjadi sumber kerugian yang berpotensi pailit yang dialami oleh anak perusahaan. Namun, pemegang saham (induk perusahaan) yang seharusnya turut membantu, malah melepas tanggung jawabnya terhadap anak perusahaan yang pailit.  

Sejatinya, peraturan perundang-undangan di Indonesia memang tidak mengatur secara eksplisit dan spesifik terkait pertanggungjawaban perusahaan induk apabila anak perusahaan menimbulkan suatu kerugian. Hal ini terjadi karena hukum perseroan dirancang untuk mengatur perusahaan tunggal, bukan perusahaan kelompok. Akan tetapi, eksistensi doktrin piercing the corporate veil sebagaimana tersirat dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas Pasal 3 ayat (2) menjustifikasi penyingkapan batas pertanggungjawaban direksi, komisaris, atau pemegang saham atas perbuatan korporasi yang merugikan sehingga memungkinkan untuk menuntut tanggung jawab pemegang saham ketika anak perusahaan dihadapkan keadaan pailit. Pasal a quo menyatakan bahwa ketentuan tanggung jawab terbatas pada pasal (1) tidak berlaku apabila: (a) persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; (b) pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; (c) pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; dan/atau (d) saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan[22].

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa doktrin piercing the corporate veil dapat menjadi instrumen penembus tirai perlindungan tanggung jawab yang dimiliki induk perusahaan bila terbukti melanggar dengan menggunakan anak perusahaan sebagai sarana untuk mencapai keuntungan pribadi.

Penerapan Doktrin PCV Terhadap Parent Company atas Kepailitan Subsidiary Company 

Menurut Subekti, kepailitan adalah suatu usaha bersama untuk mendapatkan pembayaran bagi semua orang yang berpiutang secara adil. Sedangkan definisi kepailitan menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yaitu:

“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Kepailitan merupakan upaya yang dilakukan atas insolvensi. Menurut Bank Indonesia, insolvensi merupakan ketidakmampuan seseorang atau badan untuk membayar utang tepat pada waktunya atau keadaan yang menunjukkan jumlah kewajiban melebihi harta debitur. Acapkali, tidak terpenuhinya kewajiban tersebut dikarenakan ingkar janji (wanprestasi) atau bila sejak semula memang debitur kurang melakukan perhitungan terhadap utang tersebut[23]

Tidak menutup kemungkinan, subsidiary company hanya dijadikan sebagai perangkat oleh parent company untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Melalui kepemilikan saham mayoritas, parent company berpotensi untuk mengendalikan dan mendominasi kepengurusan perusahaan subsidiary company sehingga orientasi ekonomi subsidiary company sepenuhnya mendukung kepentingan parent company[24]. Dominasi tanpa pertanggungjawaban oleh parent company bertendensi memunculkan tindakan oportunistik seperti pemanfaatan sebagian utang subsidiary company untuk mendanai kegiatan operasional afiliasi parent company lainnya. Selain itu, tindakan oportunistik yang bisa dilakukan parent company adalah mengalihkan aset subsidiary company yang hampir bangkrut kepada afiliasi parent company lainnya tanpa sepengetahuan pemegang saham minoritas atau kreditur subsidiary company[25]. Subsidiary company menjadi pion untuk melakukan berbagai tindakan berisiko dengan didorong oleh parent company. Karena hal-hal yang dijalankannya berisiko, maka potensi kepailitan hingga kebankrutan subsidiary company pun besar. Parent company dapat meningkatkan dan melindungi harta kekayaannya dengan mengorbankan subsidiary company

Tidak adil ketika kreditur subsidiary company tidak mendapatkan haknya atau hanya mendapat sebagian haknya karena harta kekayaan subsidiary company tidak mencukupi. Sementara, tanggung jawab parent company hanya sebesar jumlah sahamnya. Padahal, seperti yang telah disinggung sebelumnya, parent company dapat menjadi penyebab subsidiary company tidak dapat memenuhi kewajibannya. Oleh karenanya, piercing the corporate veil dapat diterapkan untuk melindungi pihak ketiga sebagai penyingkap batas pertanggungjawaban induk perusahaan terhadap anak perusahaan. 

Karena hukum positif Indonesia tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai pertanggungjawaban induk perusahaan atas insolvensi anak perusahaan, kita dapat berkaca dari negara-negara yang telah mengatur secara spesifik mengenai hal tersebut. Yurisdiksi Australia menyatakan bahwa perusahaan induk dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kepailitan anak perusahaan apabila direktur dari perusahaan induk tersebut mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa anak perusahaan mungkin bangkrut karena terlilit utang. Menurut regulasi Italia, perusahaan induk dapat dikenakan pertanggungjawaban jika menjadi pemegang saham tunggal perusahaan dan sebagai pemegang saham tunggal, induk perusahaan melanggar kewajiban yang telah ditetapkan undang-undang terkait dengan kontribusi dan publisitas. Dalam hukum positif Cina, induk perusahaan dapat dikenakan pertanggungjawaban apabila keduanya memiliki brand personality yang serupa dan juga apabila perusahaan induk gagal untuk memenuhi atau melakukan withdrawal terhadap modal terdaftar[26].

Dalam putusan MA No. 89 PK/PDT/2010, majelis hakim menolak peninjauan kembali yang diajukan oleh PT Effem Foods Inc dan PT Effem Indonesia terhadap putusan MA No. 900/K/Pdt/2008. Putusan kasasi dan putusan pada tingkatan-tingkatan sebelumnya menyatakan bahwa PT Effem Foods Inc selaku parent company dikenakan tanggung renteng kepada PT Smak Snak selaku pihak ketiga atas perbuatan melawan hukum PT Effem Indonesia selaku subsidiary company. Putusan MA No. 89 PK/PDT/2010 menegaskan bahwa parent company wajib bertanggung jawab atas segala kerugian yang ditimbulkan oleh anak perusahaan sepanjang memenuhi unsur: (a) adanya keterkaitan antara induk perusahaan dan anak perusahaan, yang memungkinkan bagi induk perusahaan menjalankan pengendalian terhadap anak perusahaan guna mendukung kepentingan perusahaan holding company sebagai satu kesatuan ekonomi (hal. 2-3); (b) adanya kerugian yang ditanggung oleh pihak ketiga (hal. 5 dan 15); dan (c) danya perbuatan melawan hukum atau wanprestasi (hal. 5 dan 15)[27].

PENUTUP

Salah satu permasalahan dalam dunia bisnis adalah induk perusahaan yang lepas tanggung jawab atas pailitnya anak perusahaan. Hal ini karena adanya asas separate legal entity dan limited liability yang menjadi tembok pertanggungjawaban induk perusahaan pada anak perusahaan. Akibatnya, ini merugikan pihak ketiga seperti debitur bila terjadi insolvensi. Padahal, kebijakan anak perusahaan seringkali dipengaruhi atau bahkan dikendalikan oleh perusahaan. Untuk itu, doktrin piercing the corporate veil hadir untuk menjadi solusi penyingkap batas pertanggungjawaban Perusahaan atas kepailitan anak Perusahaan. Putusan MA No. 89 PK/PDT/2010 mencerahkan bahwasanya parent company dapat bertanggung jawab secara tanggung renteng terkait kerugian pihak ketiga yang disebabkan subsidiary company sepanjang memenuhi unsur tertentu. Dengan demikian, berlandaskan doktrin piercing the corporate veil, dalam hal terjadi kepailitan subsidiary company, para kreditur subsidiary company dapat menggugat parent company untuk turut mengganti kerugiannya.


SUMBER:

[1]  Juli Asril, Pertanggungjawaban Induk perusahaan Terhadap Anak Perusahaan yang Dinyatakan Pailit, Jurnal Ilmiah MEA (Manajemen, Ekonomi, & Akuntansi), Vol. 2, No. 1, hlm. 215.

[2] Ibid.

[3]  Hizkia B. dan Dona B., Kajian Yuridis Hubungan Hukum Induk Perusahaan BUMN terhadap Anak Perusahaan BUMN dalam Perspektif Hukum Perusahaan, Privat Law, Vol. 10, No. 2.

[4]  Ines Prasheila K., Pertimbangan Hakim Berdasarkan Piercing the Corporate Veil terhadap Tanggung Jawab Holding Company atas Kerugian Pihak Ketiga Akibat Perbuatan Hukum Subsidiary Company (Studi Putusan MA No. 89/PK/Pdt/2010.

[5]  Ibid., hlm. 5.

[6]  Ibid., hlm. 5.

[7]  Ardison Asri, Doktrin Piercing The Corporate Veil dalam Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas, Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, Volume 8, No.1, September 2017, hlm. 91.

[8]  Ines Prasheila K., Pertimbangan Hakim Berdasarkan Piercing the Corporate Veil terhadap Tanggung Jawab Holding Company atas Kerugian Pihak Ketiga Akibat Perbuatan Hukum Subsidiary Company (Studi Putusan MA No. 89/PK/Pdt/2010, hlm. 6.

[9]  Emmy Pangaribuan Simanjuntak, 1994, Perusahaan Kelompok (Seri Hukum Dagang Fakultas Hukum Gadjah Mada), Yogyakarta, hlm.1.

[10]  Latin American Companies Circle, Corporate Governance Recommendations for Company Groups, November 2014, https://www.oecd.org/daf/ca/2014LatinAmericaCorporateGovernanceRoundtableRecommendationsCompanyGroups.pdf.

[11] Ibid.

[12]  Supra, Juli Asril, hlm. 217.

[13] Supra, Juli Asril, hlm. 231

[14] Ni Made Pratiwi D., Hubungan Hukum Perusahaan Induk Berbentuk Perseroan Terbatas dengan Anak Perusahaan Berbentuk Persekutuan Komanditer, Acta Comitas (2017): Jurnal Ilmiah Prodi Magister Kenotariatan, Vol. 1, hlm. 69.

[15]  Ibid, hlm. 43.

[16] Ibid, hlm. 44.

[17] Ibid.

[18] Ibid.

[19] Asli, Ardison. “Doktrin Piercing the Corporate Veil Dalam Pertanggungjawaban Direksi Perseroan Terbatas.” Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, Vol. 8 No. 1, September 2017

[20]  Hasanah, Sovia, “Bentuk Tanggung Jawab Direksi Atas Tindakan Ultra Vires”, https://www.hukumonline.com/klinik/a/bentuk-tanggung-jawab-direksi-atas-tindakan-iultra-vires-ilt5b398cd4c2a98 (diakses 31 Oktober 2023).

[21]  Syafi’i, Muhammad, 2016, Piercing The Corporate Veil Terhadap Holding Company Dalam Tindakan Hukum Anak Perusahaan, Program Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

[22]  Undang Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756).

[23] Irna Nurhayati, Tinjauan Terhadap Undang-Undang Kepailitan (UU No. 4 Tahun 1998), Mimbar Hukum Majalah Berkala Fakultas Hukum UGM VI, no. 32, (1999): 41

[24] Lina Maulidiana, Rendy Renaldy, “Kepemilikan Saham Tanpa Batas pada Grup Perusahaan yang Berakibat Munculnya Posisi Dominan,” Jurnal Ius Constituendum 5, no. 2 (2020): 261–262, http://dx.doi.org/10.26623/jic.v5i2.2380.

[25]  Sulistiowati, “Extention of Parent’s Company Liability Againts Third Parties of Subsidiary Company,” Mimbar Hukum Edisi Khusus (November 2011): 42.

[26] Thomson Reuters Practical Law, “Parent entity liability in insolvency”. https://uk.practicallaw.thomsonreuters.com/8-566-7187?transitionType=Default&contextData=(sc.Default)&firstPage=true (diakses 25 Oktober 2023)

[27] Indra K. Wardani. “Piercing the Corporate Veil pada Kepailitan Anak Perusahaan.” Hukumonline.com. https://www.hukumonline.com/klinik/a/ipiercing-the-corporate-veil-i-pada-kepailitan-anak-perusahaan-lt5e3b94cd30fb2 (diakses 31 Oktober 2023).

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *