Perdagangan Karbon Internasional: Analisis Skema, Peluang, dan Tantangannya bagi Indonesia

Divisi Perdagangan Internasional

Oleh Farihaini (2022) & Fiant Lintang Cahyani (2022)

Latar belakang Perdagangan Karbon

Perubahan iklim merupakan salah satu isu yang akhir-akhir ini memperoleh atensi lebih pada forum internasional. Salah satu faktor yang mendorong terjadinya perubahan iklim adalah emisi gas rumah kaca. Dalam Annex A Protokol Kyoto yang membahas mengenai gas rumah kaca dan kategori sektor atau sumber disebutkan setidaknya tiga elemen utama penyebab emisi gas rumah kaca, antara lain carbon dioxide (CO2), methane (CH4), dan nitrous oxide (N20).[1] Lima sektor utama yang memiliki persentase besar dalam menghasilkan ketiganya adalah sektor energi, sektor lingkungan limbah, sektor industri, sektor agrikultur, dan sektor FOLU atau Forestry and Other Land Uses.[2]

Kesadaran mengenai urgensi untuk mengatasi perubahan iklim mulai pertama kali terlihat pada tahun 1997 melalui sebuah perjanjian internasional berjudul Protokol Kyoto. Secara garis besar, Protokol Kyoto berisikan kewajiban bagi negara yang meratifikasi perjanjian ini untuk berkomitmen menurunkan emisi di negaranya. Dalam perjalanannya, Protokol Kyoto tidak memberi dampak yang cukup signifikan dalam menekan laju emisi oleh tiap-tiap negara, namun perjanjian ini menjadi titik awal dari upaya untuk mengatasi perubahan iklim.

Sebagai tindak lanjut Protokol Kyoto, lahir Paris Agreement atau Perjanjian Paris. Berbeda dengan Protokol Kyoto, Perjanjian yang dilaksanakan di Paris pada Desember 2015 dan telah diratifikasi oleh 196 negara ini membahas secara lebih rinci tujuan yang ingin dicapai, yaitu menekan laju peningkatan suhu rata-rata global di bawah 2℃ pada tahun 2030.[3] Isi Perjanjian Paris menekankan pada konsep perubahan iklim sebagai sesuatu yang memerlukan kerjasama antar negara untuk mengatasinya. Setiap negara diwajibkan untuk membuat Nationally Determined Contributions (NDCs), yaitu rancangan upaya mengurangi emisi dalam kontribusinya untuk menekan laju peningkatan suhu rata-rata global yang akan dicapai pada 2030 dan wajib dilaporkan perkembangannya setiap lima tahun.[4] Indonesia mengesahkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2016 sebagai bentuk ratifikasi Perjanjian Paris.

Dalam Nationally Determined Contributions-nya, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi tingkat emisi gas rumah kaca dengan persentase sebesar 29% unconditional (melalui usaha sendiri) dan 41% conditional (melalui bantuan internasional).[5] Pada September 2022, persentase tersebut mengalami kenaikan menjadi 31.89% dan 43.20% seiring dilaksanakannya Conference of the Parties (COP) 27 pada November 2022 di Sharm el-Sheikh, Mesir.

Secara umum, terdapat dua istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan upaya menghadapi perubahan iklim, yaitu mitigasi dan adaptasi.[6] Program mitigasi dalam pelaksanaannya lebih berfokus pada penurunan dan pengurangan emisi karbon, sementara program adaptasi lebih berfokus pada penyiapan sarana dan infrastruktur publik yang bisa meredam dampak dari perubahan iklim yang ada. Salah satu implementasi oleh pemerintah dalam program mitigasi adalah berupa skema perdagangan karbon atau carbon trading. Artikel ini ditujukan untuk melakukan analisis terhadap pelaksanaan carbon trading ditinjau dari peraturan perundang-undangan yang diterapkan, serta implementasi dari peraturan perundang-undangan tersebut melalui skema carbon trading di Indonesia.

Skema Pelaksanaan Perdagangan Karbon dan Implementasinya di Indonesia

Perdagangan karbon merupakan mekanisme berbasis pasar yang memungkinkan terjadinya negosiasi dan pertukaran hak emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan menjual dan membeli izin untuk melakukan pencemaran (emission permit) atau melakukan perdagangan karbon. Mekanisme pasar perdagangan karbon diatur dalam Pasal 6, 12, dan 17 Protokol Kyoto, yang mana dapat dilakukan pada skala nasional maupun internasional sejauh hak-hak negosiasi dan pertukaran yang sama dapat dialokasikan kepada semua pelaku pasar yang terlibat. Mekanisme perdagangan karbon dapat dilakukan dengan mengimplementasi International Emission Trading (IET), Joint Implementation (JI), dan Clean Development Mechanism (CDM).[7] Mekanisme JI dan IET dilakukan antara negara negara industri (Annex-1). Negara Annex I sendiri adalah negara-negara dengan emisi karbon tertinggi yang tertuang dalam Protokol Kyoto. Sedangkan dalam Clean Development Mechanism (CDM) negara-negara Annex I dapat memenuhi kewajiban penurunan emisinya melalui investasi proyek penurunan emisi maupun perdagangan karbon dengan negara non-Annex I atau negara-negara non-industrial/berkembang.[8]

Negara dalam daftar Annex I adalah negara yang wajib tunduk pada pembatasan emisi, sementara negara Non-Annex I adalah mereka yang tidak diwajibkan untuk memenuhi target pengurangan emisi, melainkan hanya berkomitmen untuk berkontribusi dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Sebagai salah satu negara peserta Protokol Kyoto, Indonesia termasuk ke dalam golongan non-Annex I sehingga dapat berpartisipasi dalam mekanisme CDM. CDM atau Mekanisme Pembangunan Bersih adalah satu-satunya mekanisme yang melibatkan langsung negara berkembang dalam penurunan emisi global.[9] Di bawah Protokol Kyoto, CDM merupakan salah satu mekanisme pasar karbon internasional terbesar di dunia. Melalui mekanisme ini, Indonesia memperoleh proyek-proyek ramah lingkungan dengan biaya yang relatif lebih murah, seperti penanaman hutan, konservasi mangrove, serta pelestarian lingkungan yang legal dan bersertifikasi.[10]

Pemerintah Indonesia dalam upaya untuk mengelola mekanisme perdagangan karbon menerbitkan aturan tentang pasar karbon sebagai wujud komitmen Indonesia terhadap Nationally Determined Contributions yaitu Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 (Perpres 98/211). Peraturan ini berisi tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. Selain itu, pada tahun 2021 Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon.[11] Peraturan ini diterbitkan sebagai peraturan pelaksanaan dari Perpres 98/2021 untuk memberikan rincian ketentuan pelaksanaan Nilai Ekonomi Karbon (NEK), termasuk mekanisme pelaksanaan perdagangan karbon domestik dan perdagangan karbon internasional. Mekanisme perdagangan karbon yang dapat melibatkan pemangku kepentingan di Indonesia saat ini hanya ada dua jenis pasar karbon, yaitu mekanisme di bawah Protokol Kyoto dan pasar karbon yang dilakukan antar pelaku usaha yang dilakukan secara sukarela untuk menurunkan emisi. Dalam pelaksanaannya saat ini, terdapat dua jenis pasar karbon berdasarkan mekanisme perdagangannya, yaitu skema perdagangan emisi (Emissions Trading System/ETS) dan Skema Perdagangan Kredit Karbon.

ETS atau Sistem Perdagangan Emisi merupakan salah satu instrumen di bawah Pasal 17 Protokol Kyoto yang memungkinkan Negara untuk memiliki cadangan unit emisi dari yang diizinkan (bukan yang telah digunakan) dengan menjual kelebihan unit tersebut kepada Negara yang melampaui target mereka.[12]  Perdagangan emisi memiliki dua komponen utama, yaitu “cap” (berhubungan dengan penentuan batas maksimum terhadap emisi yang diperbolehkan dalam ETS) dan “trade” (izin dari jumlah emisi yang dapat diperdagangkan). ETS sendiri mempunyai mekanisme kerja,sebagai berikut:[13]

  1. Pemerintah menentukan batas (cap) terhadap jumlah emisi dalam satu atau lebih sektor ekonomi;
  2. Perusahaan tersebut harus memiliki satu izin (allowance) untuk setiap ton emisi gas rumah kaca yang dilepaskan;
  3. Perusahaan dapat memberi atau menerima izin, dan dapat menukarkan izin (trade) tersebut dengan perusahaan lain.

Sementara itu, skema perdagangan kredit karbon, atau yang dikenal juga dengan sistem baseline and crediting atau carbon offset adalah mekanisme berbasis proyek dengan melihat selisih emisi sebelum proyek dan setelah proyek. Di Indonesia sistem ini diasosiasikan dengan pasar karbon, yang semata-mata sudah menjalin akrab dengan Clean Development Mechanism.[14] Komoditas yang diperdagangkan adalah penurunan emisi yang disertifikasi dengan batasan yang berlaku di pasar atau yang sering disebut sebagai kredit karbon. Setiap unit kredit karbon akan menghasilkan penurunan satu ton karbon dioksida. Sistem ini menekankan emisi di tingkat proyek/kegiatan dan tidak memerlukan persiapan atau pengumpulan data emisi di tingkat instansi/organisasi.

Selain itu, terdapat juga perdagangan karbon melalui sektor hutan, baik itu hutan tropis, hutan mangrove, maupun lahan gambut. Perdagangan karbon sektor hutan ini termasuk dalam skema REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation).[15] Melalui skema ini, barang yang diperdagangkan bukan lagi izin (allowance) dihasilkannya karbon, melainkan fungsi hutan sebagai penyerap karbon. Hal tersebut dapat dilakukan sebab tanaman berkayu memiliki kemampuan untuk menyimpan karbon, dan apabila seluruh wilayah hutan di Indonesia diberdayakan dalam program ini, maka jumlah emisi karbon yang dapat diserap tentu menjadi sangat besar.

Pelaksanaan perdagangan karbon sektor hutan dalam praktiknya juga memerlukan kontribusi dari banyak pihak. Selain pemerintah sebagai pengelola hutan, terdapat pula masyarakat sekitar area hutan yang turut serta diberdayakan untuk melakukan pengelolaan hutan secara lestari. Sesuai skema yang ada, perolehan dana melalui perdagangan karbon sektor hutan ini sebesar 60 persen digunakan untuk untuk usaha rehabilitasi hutan, sedangkan 40 persen sisanya digunakan untuk kegiatan usaha produktif dan penguatan kelembagaan.[16] Salah satu praktik nyata dari skema perdagangan karbon sektor hutan ini dilakukan oleh Project Katingan Mentaya yang didirikan dan dikelola oleh PT. Rimba Makmur Utama. Project Katingan Mentaya ini berpusat di Kabupaten Katingan dan Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah dengan pemanfaatan lahan gambut seluas kurang lebih 149.800 hektar.[17]

Analisis Peluang dan Tantangannya

Melalui perdagangan karbon, potensi pendapatan yang bisa dikantongi oleh Indonesia mencapai USD 565,9 miliar atau sekitar Rp8.000 triliun. Potensi pendapatan tersebut dapat diperoleh karena Indonesia merupakan negara dengan hutan tropis terluas ketiga di dunia dengan total luas area sekitar 125,9 juta hektar, juga hutan mangrove dan lahan gambut yang masing-masing memiliki luas 3,13 juta hektar dan 7,5 juta hektar dan diproyeksikan mampu menyerap emisi karbon sejumlah 25,18 miliar ton.[18] Selain potensi pada sektor ekonomi, skema perdagangan karbon sekaligus menjadi program mitigasi perubahan iklim dengan biaya yang relatif lebih murah namun menghasilkan dampak yang lebih besar dibanding skema program mitigasi lainnya.[19] Berbanding lurus dengan peluang yang bisa diperoleh, perdagangan karbon juga memiliki tantangan yang harus dihadapi dalam skema pelaksanaannya. Hal paling mendasar yang menjadi tantangan adalah kematangan regulasi atau kebijakan dari pemerintah pusat terkait pelaksanaan perdagangan karbon. Terlebih dengan adanya rencana pemanfaatan hutan baik itu hutan tropis, hutan mangrove, maupun lahan gambut, maka diperlukan adanya kebijakan yang dapat mendorong upaya konservasi dari lahan-lahan tersebut sehingga pemanfaatannya bisa benar dilakukan. Selain itu, penyempurnaan skema perdagangan karbon secara lebih komprehensif melalui strategi jangka panjang yang jelas, harmonisasi standar regulasi, dan praktik komersial yang matang juga harus terus diupayakan sehingga diharapkan akan lebih banyak perusahaan dari berbagai sektor yang bisa turut berpartisipasi.[20]

Meski perdagangan karbon telah berhasil diterapkan di Indonesia, masih terdapat beberapa celah hukum yang dapat mempersulit serta menyebabkan kurangnya transparansi, keterbukaan, serta masalah yang yang dapat merugikan berbagai pihak yang terlibat dalam perdagangan karbon. Salah satunya bisa dilihat di pasal 5A ayat (8) yang mengatur tentang perdagangan sekunder karbon dalam wewenang Otoritas Jasa Keuangan (OJK).[21] Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira menyampaikan bahwa perlu ada jalan tengah dari pasal tersebut berupa kolaborasi antara regulator yakni OJK dan Bappebti untuk mengatur perdagangan sekunder Sertifikat Izin Emisi dan Sertifikat Penurunan Emisi di bursa karbon. Kolaborasi tersebut penting untuk menciptakan efisiensi sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dalam pelaksanaan perdagangan karbon di Indonesia. Masalah lain yang kerap menghambat adalah ketidakstabilan harga karbon. Di Indonesia, harga karbon ditentukan oleh pemerintah dan tidak dapat berubah menyesuaikan perubahan pasar.

Dengan potensi karbon yang Indonesia miliki, pemerintah melalui kolaborasi OJK dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) terus berupaya untuk mengatur mekanisme perdagangan karbon. Kolaborasi antara keduanya dalam pelaksanaan perdagangan karbon diimplementasikan melalui mekanisme tata kelola perdagangan karbon di Indonesia yang berada di dalam bursa karbon yang diawasi oleh OJK, sedangkan bagian registrasi dilakukan KLHK. Kolaborasi antara OJK dan KLHK ini ditujukan agar pelaksanaan perdagangan karbon di Indonesia berjalan sesuai rencana dan dapat memenuhi target Nationally Determined Contributions (NDC)yang akan dicapai pada tahun 2030 mendatang.


Sumber:

[1] Kementerian Lingkungan Hidup. “Protokol Kyoto Atas Konvensi Kerangka Kerja PBB Tentang Perubahan Iklim”, http://perpustakaan.menlhk.go.id/pustaka/images/docs/Protokol%20Kyoto_Atas.pdf (diakses pada Maret 2023).

[2] Kementerian Lingkungan Hidup, Op. Cit.

[3] Indonesia Green Growth Program. “Diskusi NDC Dalam Upaya Mengurangi Emisi Nasional”, http://greengrowth.bappenas.go.id/diskusi-ndc-dalam-upaya-mengurangi-emisi-nasional/ (diakses pada Maret 2023)

[4] UNFCCC. “The Paris Agreement: What is the Paris Agreement”, https://unfccc.int/process-and-meetings/the-paris-agreement (diakses pada Maret 2023).

[5] Direktorat Konservasi Energi, Kementerian ESDM. “Mitigasi Emisi GRK Sektor Energi”, https://simebtke.esdm.go.id/sinergi/program_konservasi_energi/detail/7/mitigasi-emisi-grk-sektor-energi (diakses pada Maret 2023).

[6] Irama, Ade Bebi., “Perdagangan Karbon di Indonesia: Kajian Kelembagaan dan Keuangan Negara”, INFO ARTHA Vol. 4, No.01 (2020): 84.

[7] UNFCCC, Kyoto Protokol to the UNFCCC. Tersedia di https://unfccc.int/kyoto_protocol, diakses pada tanggal 17 Maret 2023

[8] LindungiHutan. (2022, November 28). Clean Development Mechanism (CDM), Upaya Pengurangan Emisi Global dan Peran Indonesia di Dalamnya. Dipetik 3 Maret, 2023, dari https://lindungihutan.com/blog/memahami-clean-development-mechanism/

[9] Ibid

[10] Jericho Biere, “Perdagangan Karbon di Bursa Berjangka”. https://www.icdx.co.id/news-detail/publication/perdagangan-karbon-di-bursa-berjangka (Diakses 26 Maret, pukul 21.46) 

[11] Megarani, Amanda, “Tata Cara Perdagangan Karbon”. https://www.forestdigest.com/detail/2063/perdagangan-karbon (Diakses 26 Maret, pukul 20.05 WIB) 

[12] United Nations Climate Change, “Emissions Trading,” https://unfccc.int/process/the-kyoto-protocol/ mechanisms/emissions-trading accessed Maret 18, 2023.

[13] United States Environmental Protection Agency, “What Is Emissions Trading?”, https://www.epa.gov/emissions-trading-resources/what-emissions-trading accessed Maret 18, 2023.

[14] Warhamni, Siti. Pasar Karbon. Wanaswara. https://wanaswara.com/jenis-jenis-pasar-karbon/

[15] Riski Petrus. “Merehabilitasi Hutan Sambil Menjual Karbon. Seperti Apa?”, https://www.mongabay.co.id/2015/03/25/merehabilitasi-hutan-sambil-menjual-karbon-seperti-apa/ (diakses pada Maret 2023)

[16] Ibid.

[17] Sukadi, et.al, “Penerapan Good Environmental Governance Pada Praktik Perdagangan Karbon di Proyek Katingan Mentaya”, Jurnal Borneo Administrator Vol. 16, (2020): 3. https://doi.org/10.24258/jba.v16i3.693

[18] Energyworld. “Tantangan dan Peluang Ekonomi Indonesia Serta Bauran Kebijakan Dalam Menghadapi Issue Carbon Trading”, https://energyworld.co.id/2021/11/16/tantangan-dan-peluang-ekonomi-indonesia-dan-bauran-kebijakan-hadapi-issue-carbon-trading/ (diakses pada Maret 2023).

[19] Syahputra Eqqi. “Dorong Realiasi Pasar Karbon. B20 Indonesia Gandeng ICDX”, https://www.cnbcindonesia.com/news/20220526084449-4-342014/dorong-realisasi-pasar-karbon-b20-indonesia-gandeng-icdx (diakses pada Maret 2023).

[20] Liu, Z., Deng, Z., He, G. et al, “Challenges and opportunities for carbon neutrality in China”, Nat Rev Earth Environ 3, (2022): 152. https://doi.org/10.1038/s43017-021-00244-x

[21] Hiru Muhammad. “Aturan Pasar Karbon dalam RUU PPSK Perlu Perbaikan”, https://ekonomi.republika.co.id/berita/rls720380/aturan-pasar-karbon-dalam-ruu-ppsk-perlu-perbaikan (diakses pada 6 Mei 2023).

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *