DISKURSUS PENGGUNAAN INDIRECT EVIDENCE PADA PEMBUKTIAN KASUS KARTEL DI INDONESIA

Dari segi hukum, Indonesia secara khusus mengatur persaingan usaha dalam UU KPPU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU 5/1999). Dengan adanya peraturan perundang-undangan ini, pelaku usaha diharapkan dapat bersaing secara sehat dengan menghindari berbagai kegiatan dan perjanjian yang dilarang.

Salah satu contoh dari perjanjian yang dilarang adalah kartel. Kartel, oleh KPPU, didefinisikan sebagai kerjasama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk mengkoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu barang dan atau jasa, untuk memperoleh keuntungan diatas tingkat keuntungan yang wajar.[1] Salah satu kasus besar kartel yang pernah diadili adalah kasus kartel skuter matik yang dilakukan oleh PT Yamaha dan PT Astra Indonesia. Kedua Perusahaan tersebut diduga melakukan kolusi bersama dengan menaikan harga skuter matik 110-150 cc  secara bersamaan dan diam-diam.

UU 5/1999 menyebutkan bahwa terdapat beberapa jenis bukti yang dapat digunakan untuk memutus perkara, khususnya dalam penanganan kartel. Pada Pasal 42 UU 5/1999 disebutkan ada lima jenis bukti, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan/ dokumen, petunjuk, dan keterangan pelaku usaha.[2]

Sedangkan secara umum, bukti dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu bukti langsung (direct evidence) dan bukti tidak langsung (indirect evidence). Dalam kasus kartel, penggunaan indirect evidence berperan sangat penting sebab praktik kartel biasa dilakukan secara diam-diam. Oleh karena itu, artikel ini akan membahas analisis putusan perkara kartel di Indonesia yang menggunakan indirect evidence sebagai alat bukti, indikator apa saja yang mempengaruhi diterima atau tidaknya indirect evidence dalam persidangan, dan perbandingan penggunaan indirect evidence pada kasus kartel di luar negeri.

Kasus Pertama: KPPU v. Honda & Yamaha

Putusan kartel pertama yang akan kami bahas adalah Putusan Perkara Nomor 04/KPPU-I/2016 terkait Pelanggaran Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yaitu “Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat”. Dalam kasus ini terjadi pada industri sepeda motor jenis skuter matik 110-125 cc di Indonesia. Pada kasus ini, KPPU menggunakan beberapa bukti, yaitu :

  1. Keterangan ahli (pakar ekonomi)
  2. Dokumen yang menjadi bukti terjadinya fluktuasi harga skuter matik dari kedua perusahaan, dalam perkara ini adalah PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing dan PT Astra Honda Motor; dimana terjadi peningkatan harga yang tidak wajar, yang bersamaan dengan estimasi waktu pertemuan wakil kedua belah pihak secara diam-diam.

Selain itu, KPPU juga menggunakan indirect evidence, berupa adanya temuan bahwa wakil dari kedua belah pihak pernah bertemu dan bermain golf bersama yang berdasarkan keterangan ahli Faisal Basri dalam Butir 41 BAP tanggal 20 Desember 2016, menyatakan bahwa  :

“Indirect evidence bisa diterima namun juga harus berdasarkan syarat-syarat yang jelas. Perlu verifikasi data, melihat data entry, melihat data time series yang konsisten.”[3]

Dan keterangan Dr. Kurnia Toha, S.H., LL.M., dalam persidangan tanggal 15 Desember 2016, yaitu :

Menurut hukum Indonesia, alat buktinya hanya mengenal seperti saksi, surat petunjuk dan keterangan pelaku usaha, di pasal 42 UU 5/1999. Suatu tuduhan tidak dapat hanya didasarkan pada indirect evidence. Pembuktian dengan indirect evidence harus juga didukung dengan faktor plus berupa (i) alat bukti komunikasi dan (ii) alat bukti ekonomi.[4]

Berdasarkan ketiga alat bukti langsung dan indirect evidence yakni  berupa alat bukti komunikasi (pertemuan golf) dan alat bukti ekonomi (dokumen- analisis harga sekuter motor periode 2013-2015), KPPU memutuskan bahwa PT Yamaha Indonesia Motor Manufacturing dan PT Astra Honda Motor bersalah atas kartel skuter matik dan diwajibkan untuk membayar denda sebesar 25 miliar dan 22,5 miliar. Kedua pihak tergugat sempat mengajukan banding ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara, tetapi ditolak oleh pengadilan dengan Putusan Nomor 163/Pdt.G/KPPU/2017/PN .Jkt.Utr.

Mahkamah Agung setelah meneliti memori kasasi masing-masing kemudian menghubungkan dengan pertimbangan judex facti  berupa pertimbangan fakta hukummemutuskan bahwa Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 163/’Pdt.G/KPPU/2017/PN.Jkt.Utr. tanggal 5 Desember 2017 dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, dan bahwa penggunaan alat bukti langsung serta keterangan para ahli terkait dengan bukti tidak langsung atau indirect evidence dalam kasus ini telah memenuhi syarat dan dapat dibenarkan; maka Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang dilontarkan kedua pihak tergugat.

Kasus Kedua: KPPU v. Pengusaha Sawit

Putusan kartel kedua yang akan kami bahas adalah Putusan KPPU Nomor 24/KPPU-I/2009 terkait dengan dugaan adanya praktik kartel yang dilakukan oleh 20 perusahaan yang bergerak di bidang industri minyak goreng sawit Indonesia, baik minyak goreng curah maupun minyak goreng kemasan. KPPU dalam kasus ini hanya menggunakan alat bukti tidak langsung (indirect evidence),yang terdiri dari bukti komunikasi dan bukti ekonomi. Bukti komunikasi dalam kasus ini adalah fakta adanya pertemuan dan/atau komunikasi antar pesaing usaha, meskipun tidak terdapat substansi dari pertemuan dan/atau komunikasi tersebut. Sedangkan, bukti ekonomi dalam kasus ini terdapat dua bentuk, yaitu struktur pasar yang berupa oligopoli dan perilaku yang tercermin melalui price parallelism.[5] Price parallelism adalah suatu kondisi dalam persaingan usaha berupa kesepakatan untuk melakukan penetapan harga jual suatu produk antar pesaing usaha tanpa adanya perjanjian tertulis.[6]

Perusahaan-perusahaan minyak di Indonesia secara bersama-sama mengajukan keberatan terhadap Putusan KPPU Nomor 24/KPPU-I/2009 terkait dengan dugaan adanya praktik kartel yang dilakukan oleh 20 perusahaan yang bergerak di bidang industri minyak goreng sawit Indonesia, baik minyak goreng curah maupun minyak goreng kemasan. Pemohon mengajukan keberatan dengan alasan:

  1. KPPU melanggar ketentuan Pasal 4 (1) UU No. 48 tahun 2009, Pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999 dan Pasal 52 jo, Pasal 64 Ayat (2) Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006 karena mendasarkan Putusan KPPU hanya kepada indirect evidence.
  2. Bahwa menurut pasal 42 UU No. 5 Tahun 1999, petunjuk memang merupakan alat bukti yang sah, tetapi petunjuk dalam pasal ini berbeda definisi dengan petunjuk yang dimaksud KPPU
  3. Bahwa penggunaan indirect evidence saja sebagai alat bukti tidak memenuhi ketentuan yang berbunyi  “sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti…” sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 52 jo. Pasal 64 Ayat 2 Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2006
  4. Contoh penerapan indirect evidence yang diberikan KPPU tidak relevan karena diambil dari kasus yang terjadi di Brazil.
  5. Bahwa bukti tidak langsung (indirect evidence) tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia.
  6. Putusan KPPU patut dibatalkan karena pertimbangan mengenai kesamaan harga (price parallelism) adalah salah.
  7. Penggunaan price parallelism untuk membuktikan praktik kartel salah dan tidak berdasar karena :
  8. Price parallelism tidak serta merta membuktikan adanya kartel
  9. Tidak ada ketentuan hukum manapun yang menyatakan bahwa price parallelism merupakan bukti  atau sebagai tolak ukur adanya kartel.
  10. Pertimbangan KPPU justru bertentangan dan tidak konsisten dengan halaman 38 Rancangan Pedoman Kartel yang menyatakan:

”Berdasarkan teori ekonomi maka terdapat kecenderungan para pelaku
  usaha yang bersaing akan mengenakan harga yang sama, baik pada pasar
  yang kompetitif maupun dalam kartel, sehingga adanya harga yang sama
  tidak dapat dianggap sebagai adanya indikasi pelanggaran terhadap hukum
  persaingan usaha;”

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara 03/KPPU-I/2010/PN.JKT.PST. sependapat dengan pemohon sehingga mengabulkan permohonan secara seluruhnya. Atas putusan tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerapan indirect evidence tidak sama dengan alat bukti petunjuk karena indirect evidence didapat dari dugaan, penafsiran, logika, dan asumsi.[7]

Hal lain yang membuat Putusan KPPU ditolak yakni kekeliruan dalam pengutipan pertimbangan hukumnya. Putusan tersebut menyatakan bahwa pembuktian adanya sebuah kartel dapat dilakukan hanya dengan menggunakan indirect evidence. Sedangkan menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) indirect evidence semata tidak bisa digunakan sebagai bukti adanya kartel tanpa adanya bukti lain.[8]

Lalu, bagaimana penggunaan indirect evidence  di luar negeri? Hingga saat ini, beberapa negara di dunia yang telah menggunakan indirect evidence sebagai salah satu bukti dalam kasus kartel. Beberapa negara tersebut diantaranya adalah Brazil, Republik Ceko, Jepang, dan Amerika Serikat.[9] Penggunaan indirect evidence ditujukan untuk mempermudah pembuktian kasus kartel yang bersifat rahasia. Peran bukti tidak langsung dirasa sangat membantu pembuktian dalam kasus kartel, karena para pelaku kartel biasanya melakukan aktivitas tersebut secara rahasia.

Ada cukup banyak kasus kartel yang dalam penyelesaiannya menggunakan indirect evidence, salah satunya adalah kasus kartel baja di Brazil pada tahun 1996, dalam kasus ini Council For Economic Defense (CADE) Brazil menyimpulkan bahwa ketiga produsen baja di Brazil  telah melakukan kolusi.[10] CADE menemukan bukti bahwa para pihak telah bersepakat untuk menaikkan harga pada suatu perkumpulan tertentu. Kesepakatan menaikkan harga pada waktu yang sama dianggap sebagai bukti ekonomi dalam bukti tidak langsung (indirect evidence). Selain itu, CADE menyertakan adanya teori “paralelisme plus”, teori yang menjelaskan bahwa fakta kenaikan harga perusahaan dilakukan pada rentang waktu yang sama. Pertemuan untuk menyepakati kenaikan harga tersebut merupakan bukti tidak langsung yang digunakan oleh Council For Economic Defense Brazil untuk menghukum para pelaku kartel dengan denda sebesar USD 48 Juta.[11]

Salah satu hal yang masih menjadi isu dan perdebatan dalam penggunaan indirect evidence adalah penggunaannya tidak dapat berdiri sendiri sehingga penggunaan indirect evidence harus disertai dengan bukti langsung. Australia adalah salah satu negara yang menganggap indirect evidence hanya sebagai pendukung atau penguat dari alat bukti langsung.[12] Pembuktian kesepakatan kolusi bisa dibuktikan dengan bukti keadaan yang masih tergolong sebagai indirect evidence, seperti pedoman tindakan paralel, pedoman kerja tim, adanya kolusi, dan struktur arah harga yang sama. Meski ditemukan bukti keadaan, aparat penegak hukum harus mendapatkan bukti langsung agar penggunaan indirect evidence dianggap sah. Namun, ada juga negara yang menggunakan indirect evidence saja, seperti Republik Ceko. Bahkan, untuk beberapa kasus di Amerika Serikat, seperti kasus “Sirup jagung fruktosa tinggi”, diperbolehkan untuk hanya menggunakan bukti tidak langsung.[13]

Selain itu, masih terjadi perdebatan mengenai penggunaan dari indirect evidence. Beberapa negara menganggap bukti langsung dalam kasus kartel makin sulit dipahami dan ditemukan, sehingga kehadiran bukti tidak langsung akan memberikan titik terang untuk dugaan kasus kartel. Di sisi lain, penggunaan bukti tidak langsung berupa bukti ekonomi dianggap ambigu karena pendekatan ekonomi selalu menggunakan model dan asumsi sehingga tidak ada tolok ukur yang pasti. Padahal, dalam kasus kartel diperlukan adanya kebenaran materiil tanpa dugaan atau asumsi. Oleh karenanya, negara seperti Brazil, Malaysia, Jepang, Indonesia, dan USA membuat kebijakan bahwa bukti tidak langsung dapat digunakan selama terdapat bukti langsung yang kuat. 

Penggunaan indirect evidence memiliki urgensi tersendiri dalam menangani kasus-kasus kartel, meskipun pada praktiknya indirect evidence memang tidak dapat berdiri sendiri sebagai alat bukti. Ketika menggunakan indirect evidence, seorang Hakim harus mempertimbangkan bukti-bukti lain yang dapat menunjukkan/memastikan bahwa indirect evidence yang ditemukan tersebut benar, dapat dipertanggungjawabkan, dan dapat digunakan sebagai salah satu bukti dalam persidangan.


Daftar Pustaka

[1] Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

[2] Ibid.

[3]  Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor: 04/KPPU-I/2016, hlm 139.

[4]  Ibid., Halaman 318

[5]  Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor: 24/KPPU-I/2009, hlm. 57-58.

[6]  Andi Setiawan, 030610222 (2011) Kartelisasi Industri Minyak Goreng Sawit Dalam Perspektif Hukum Persaingan Usaha (Analisis Putusan Perkara Nomor 24/Kppu-I/2009). Skripsi Thesis, Universitas Airlangga

[7]  Putusan Mahkamah Agung Nomor: 582 K/Pdt.Sus/2011, hlm. 1109-1110.

[8]  Putusan Mahkamah Agung Nomor: 582 K/Pdt.Sus/2011, hlm. 676-677

[9]  Antoni, V., 2014. The Position of Indirect Evidence as Verification Tools in the Cartel Case. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 26(1), pp.140-142

[10]  Ibid.

[11]  Ibid,

[12]  Antoni, V., 2014.Op. Cit., pp.143

[13] Ibid.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *